Senin, 16 Juni 2008

Kapal Idealita

Kapal Idealita

Gadis kecil tersebut tetap menangis. Sebagian penumpang kapal menghampiri penuh kesal. Mencoba menghentikan tangisnya tapi nihil. Sia-sia. Tangisnya mengudara beresonansi dengan kemurkaan badai, sambaran petir, dan ombak besar yang terus-menerus menghantam badan kapal. Lalu perlahan semua orang pun meninggalkannya.

Cuaca di angkasa semakin buruk dan menakutkan. Angin kencang yang terus bertiup sesekali hampir membalikkan posisi kapal. Gelap malam pun mulai menunjukkan karakternya. Udara dingin seakan meremukkan tulang para penumpang.

Nahkoda kapal panik. Dan semakin resah saat melihat gadis kecil gaun merah bersikukuh duduk memeluk erat kedua lututnya. Menangis.
“Gadis kecil, cukupkan tangismu!” pinta sang nahkoda. Tapi tak ada respon.
“Hentikan tangismu gadis kecil!” kembali orang tua tersebut mencoba mendiamkannya. Kali ini dengan nada sedikit keras. Tapi tetap sama.
Langit di atas kapal gelap seram. Bahkan hujan terun sangat lebat disertai kilatan petir yang menyambar-nyambar sisi atap kapal. Sang nahkoda mencoba membujuk agar ia masuk kamar. Tapi ia menolak. Ia tetap duduk di kursi kecil yang dipayungi kain biru parasit melingkar. Tiba-tiba tampak bayangan besar mengahampiri gadis rambut acak diterpa angin.
“sini, biar aku yang tangani!” pinta orang aneh itu dengan nada keras membentak.
Dan nahkoda pun berlalu meninggalkannya penuh khawatir. Sebab di kedua tangan orang tersebut ada gulungan tali besar dan potongan-potongan tali pendek. Ia hanya bisa berharap semoga tidak terjadi apa-apa pada gadis tersebut.


Sesaat kemudian orang tak dikenal itu mengikat kedua kaki dan tangan gadis tersebut. Gadis itu pun berontak. Berteriak meronta-ronta. Tapi percuma karena terlalu kuat cengkeramannya. Lalu dibawanya gadis tersebut ke tepi kapal. Gadis tersebut berontak dan terus meronta lagi, tapi percuma.
“Aaa........!” terdengar jeritan histeris.


Namun tidak ada penumpang yang mendengarnya sama sekali, karena hujan sangat lebat. Kilatan petir menerkam suara jeritan. Badai kian keras mengahantam. Langit tak terlihat kecuali hanya pekat dan gelap. Kapal terus teromabang-ambing tidak karuan. Ternyata jeritan itu berasal dari mulut gadis itu. Orang aneh itu telah melemparnya jatuh dari kapal.
Selang beberapa detik orang aneh itu menariknya lagi ke kapal. Basah kuyup. Menggigil kedinginan. Tampak pucat wajahnya. Tapi sungguh mengherankan, dibalik wajah pucatnya tersirat musnahnya kegelisahan, kekhawatiran, dan ketakutan.


“Aku sadar, aku tahu, aku mengerti.” kesah sang gadis dengan sisa-sisa suaranya sebelum akhirnya pingsan. Lalu orang aneh itu pun membawanya ke tempat rujukan.

***

Kita sering bersedih dan larut dalam kegelisahan lantaran permasalahan yang memuramkan keadaan. Merasa berat dan tidak mungkin kemelut akan hanyut bermuara pada keceriaan. Tidak ada harapan kecuali kehampaan. Kapal kehidupan yang kita naiki seakan telah hancur berkeping-keping diterpa badai dan gelombang. Idealitas kita pun kandas. Gagal dan gagal lagi. Kegembiraan sirna tertelan duka. Dan entah kapan ia akan ditemukan. Rasanya ingin lari saja dari kenyataan. Terus bersedih dan tercelup larut di dalamnya. Orang lain dirasa begitu enaknya mengapungkan tawa. Sedangkan diri seperti dalam neraka. Bahkan tidak jarang yang kemudian memutus nadi sebagai nada solusi dikira.
Lalu harus bagaimana? Pemahaman akan tabiat hidup memang harus dikuasi. Itu yang akan membantu meringankan langkah. Membangkitkan semangat dalam menapaki terjalnya hidup dan cita-cita. Hal itu juga yang senantiasa memberi energi baru untuk tetap berrdiri dari keterpurukan dan rasa putus asa. Cuma mungkin untuk mendapatkan pemahaman itu yang kadang menjadi masalah. Biasanya kita hanya punya sedikit ilmu dan wawasan, sehingga picik dalam cara berpikir. Kerdil dalam mengambil sikap dan tindakan, karena miskin pengalaman. Atau mungkin kita mengabaikan nasihat bijak kehidupan.


Jika pemahaman tabiat hidup tidak juga didapati maka kita mungkin perlu diperlakukan seperti gadis kecil itu. Yang terus-menerus menangis takut lantaran terkaman badai, hantaman gelombang, dan teriakan petir. Dia sangat khawatir akan keselamatan dirinya. Ia merasa cuma ia yang merasakan ketakutan itu, meski seluruh penumpang pun merasakan hal yang sama. Kalut dan takut. Namun setelah dilempar ke laut, ia diam. Berhenti dari tangisnya dan berkata: “Aku sadar, aku tahu, aku mengerti.” Ia sadar dan mengerti bahwa keadaan saat ia di atas kapal terasa lebih nyaman dan belum apa-apa jika dibandingkan dengan keadaan di dalam lautan.


Mungkin kita perlu dihadapkan pada permasalah yang lebih berat dan sulit. Hingga tersudut pada pengambilan sikap dan keputusan yang membingungkan. Atau mungkin kita perlu disekap tanpa materi yang bisa dimanfaatkan. Atau mungkin kita harus menjadi orang miskin, biar merasakan segala penderitaan yang didekapnya setiap hari. Agar kita menjadi sadar, tahu, dan mengerti. Tapi akan lebih baik jika semua itu tidak perlu. Karena semua itu kembali pada diri kita. Bagaimana kita harus bersikap terhadap apa yang menimpa kita. Itulah yang perlu kita pikirkan. Apakah kita akan bersedih dan terus menyesal? Apakah kita akan bersikap positif karena semua itu mengandung pelajaran yang harus diambil? Tentu sikap kedua yang harus kita pilih. Maka itu tidak pantas jika kita terus bersedih dan larut di dalamnya. Karena begitulah tabiat kehidupan.


Begitulah tabiat hidup. Tidak selamanya keceriaan akan menemani kita dengan candanya. Tidak selalu jalan hidup lurus, datar, dan berlantaikan permadani. Namun tak perlu berkecil hati, karena di dunia tidak ada yang abadi. Tidak terkecuali kegagalan dan kehancuran yang menjadi sumber kehidupan. Kapal idealita kita harus tetap berjalan, melaju, menerjang badai dan gelombang.[]


Semarang, 28 Mei 2008
10:11 AM
Load disqus comments

1 komentar: