Dek dek, dek dek! Menatap langit-langit kereta. Bocor sana-sini. Sesak. Sedikit sekali ruang gerak. Berdiri di dekat pintu toilet. Bau. Tak apa, kelak akan hilang dengan sendirinya. Menguap dengan segala tatapan ini memandang hijau di seberang ujung mata ke depan gerbang desa manunggal.
Selamat datang. Desa Lebeteng Kec. Tarub Kab. Tegal.
Badanmu tertumpu di kaki kanan. Bukan Kamu tidak tahu mana yang terbaik. Bukan tidak mengerti bagaimana harusnya berdiri agar tidak cepat capek. Tapi crowded. Terlalu. Belum lagi orang bergantian keluar masuk toilet. Menyebalkan.
Bersyukurlah. Kata mantra yang ada dan harus selalu ada di dalam hati. Agar nikmat tetap terberi dan terus diberi. Bahkan diperbaiki.
Hari ini adalah hari pulang kampung. Lebaran tinggal satu hari lagi. Pentas berdesakan memang pantas. Semua orang ingin merayakan lebaran di kampung halaman mereka dilahirkan. Berkumpul bersama keluarga. Juga berkunjung ke rumah saudara, rumah kakek-nenek, mbah buyut, om-tante. Berjalan mengitari kampung dari ujung ke ujung. Itu mungkin kenapa orang menyebutnya ujung-ujung.
“Mas turun dimana?” tanya orang di sebelahmu.
“Tegal.” Kamu tidak balik bertanya. Waktunya tidak tepat pikirmu. Ngobrol di saat berdiri dengan bertumpu pada satu kaki adalah pemborosan energi.
“Aku juga di Tegal.” Jawabnya tanpa ditanya. Dia ternyata memang ingin sekali ngobrol. Padahal Kamu sudah sengaja tidak balik tanya.
Kamu sudah mulai pusing. Bau toilet, bau keringat orang-orang, bersatu menghujam kedua lubang hidungmu. Dari dulu tidak pernah berubah. Rasanya ingin sekali menghujat pemerintah yang belum juga memperbaiki sarana transportasi di negeri ini khususnya kereta yang kamu tumpangi. Kotor. Rusak. Penumpang berlebih. Meski di setiap gerbong terdapat tulisan 64 penumpang, selalu saja lebih. Tapi untuk apa menghujat. Pasti tidak akan ada hasil. Lagian salahmu juga. Kenapa kamu mau naik kereta yang sudah jelas penuh sesak seperti ini? Tapi tentu kamu juga tidak mungkin menggunakan bus eksekutif mengingat kamu seorang mahasiswa miskin. Tanpa kamu harus berpikir lebih dulu sudah tentu kamu akan memutuskan untuk tidak melakukannya.
Terlalu lama kamu berdiri. Sesak. Panas. Keringat sudah membasuh permukaan tubuhmu. Kamu juga sudah sangat lelah. Menyisir tempat duduk tapi penuh. Menghela nafas dalam berkali-kali. Justru udara pengap yang merasuk paru-parumu. Dan kamu pun terjatuh.
Dia. Duduk. Diam. Wajahnya begitu tenang. Teduh menyejukkan. Sesekali menatap ke arahmu yang duduk tepat di depannya. Seringnya membiarkan matanya bebas mencipta keindahan pedesaan dari balik kaca jendela kereta. Hutan juga ombak yang pecah di pantai. Indah memang. Pantai begitu dekat bahkan seakan kamu bisa menyentuh ombak yang menyambar rel kereta.
Tersenyum. Tulus. Kamu balas. Masih muda. Kira-kira 30-an tahun.
“Masih kuliah dek?” Ia membuka bicara. Senyum dengan segenap rasa sebisa. Matanya tajam tapi sejuk. Membuat kamu tak bisa mengelak lepas tanyanya.
“Masih mas. Mas kuliah juga?”
“Aku kerja. Pulang kampung ya? Ke mana? tanyanya.
“Tegal” jawabmu singkat.
“Pulang kampung memang menyenangkan.”
“Ya mas, memang menyenangkan,” kamu menguatkan.
“Menyenangkan sebab kita bisa menumpahkan segenap kerinduan kepada setiap orang yang kita cintai. Bercengkerama dengan mereka. Bercanda. Makan dan jalan-jalan bersama. Bukan begitu?”
“Bukaan..heheghz.” Kamu mengajaknya bercanda sedikit biar agak cair. “Ya mas, itulah alasannya. Mas juga begitu kan?”
“Ya mungkin itu alasan semua orang. Melepas dan menghempaskan kerinduan adalah kenikmatan. Cinta selalu menumbuhkan rasa selalu ingin bertemu dan bersama. Itu sebab pulang kampung selalu dilakukan. Meski harus berdesakan dan berdiri karena tidak dapat tempat duduk tetap saja semua melakukannya.” Paparnya panjang. Kamu hanya diam.
“Pulang adalah fitrah. Seperti kita hidup di dunia ini. Kelak akan ada saatnya kita akan merindukan dan benar-benar menginginkan pulang kepada sang Pencipta. Perbedaanya hanya satu. Saat akan pulang kampung kita sudah menyiapkan semuanya. Mulai dari uang untuk transportasi, pakaian, sepatu, angpao, juga dengan siapa dan kapan kita akan pulang. Detail. Bahkan saat di kampung kita akan jalan-jalan ke mana, dengan siapa, beserta kendaraannya sudah kita siapkan sedari sebelum kita pulang. Menakjubkan!”
Lagi kamu hanya diam. Asyik mendengarkan bicaranya yang berbarengan dengan suara derak roda kereta bergesekan rel di titik persambungan. Dek dek, dek dek!
“Tapi apa yang sudah kita siapkan untuk perjalanan pulang kita kepada-Nya? Tidak ada. Karena kita memang belum menginginkan pulang. Asyik terhadap nikmat dunia. Padahal pulang kepada-Nya adalah pasti. Dan perlu banyak bekal. Mungkin karena kita tidak mencintai-Nya. Lebih cinta dunia. Sehingga tidak ada kerinduan sama sekali untuk bertemu dengan-Nya dan melihat wajah-Nya. Bukankah tanda yang sudah terbukti benar kalau kita mencinta adalah kita merindukan yang kita cintai? Rindu untuk segera berjumpa dengan-Nya?”
“Kamu sudah bangun?” Terdengar suara wanita. Matamu belum jelas melihat. Samar. Kamu usap matamu. Ternyata ibumu.
“Emang apa yang tlah terjadi Bu? Kenapa aku di sini?
Ibumu tersenyum. “Alhamdulillah kamu sudah siuman. Kamu tidak sadarkan diri lebih dari tiga jam.”
“Tiga jam?” Tanyamu heran.
“Ya tiga jam. Tadi siang pukul dua belas ada orang yang menelepon ibu. Dia bilang kalau kamu sedang dirawat di rumah sakit ini. Trus ibu segera ke sini. Setiba ibu di sini ibu hanya bisa melihat kamu terdiam di atas tempat tidur. Ibu periksa seluruh badanmu. Alhamdulilah tidak ada luka. Ibu sangat khawatir. Trus ibu tanya ke dokter. Dia bilang kalau kamu pingsan di kereta. Trus ada orang yang membawamu ke sini.
“Trus orangnya mana Bu? Siapa namanya? Kamu penasaran.
“Ibu juga tidak tahu. Tapi ibu sudah tenang sekarang.”
Kamu masih terus teringat orang yang datang di alam mimpimu saat kamu pingsan. Siapa dia sebenarnya. Kamu penasaran. Semoga kamu bisa bertemu di alam nyata suatu nanti.
0 komentar