Lembut menyejukkan. Uap air melayang sesaat lalu jatuh menabrak ujung daun. Melekat menari riang dan menetes ke permukaan batu-batu besar. Sebagian menghambur menyergap crausse di wajah dan kulit tangan kakiku. Dingin. Yang lainnya terbang bebas dan tidak pernah tahu ke mana ia akan melekatkan tubuhnya. Menyerahkan diri sepenuhnya bereaksi dengan apa saja yang ia temui. Daun-daun suplir dan paku-pakuan lain di sekitar air terjun melenggang kanan ke kiri bolak-balik secara periodik mengikuti irama desir angin dan gemericik air di sela-sela bebatuan. Tepat di belakang air terjun terdapat cekungan dinding tanah. Dulu kali pertama melihatnya aku mengira bahwa itu goa. Tapi ternyata bukan. Cuma cekungan vertikal yang lumayan dalam. Tapi aku tetap senang meskipun keinginan untuk melihat secara langsung goa di belakang air terjun belum juga terpenuhi hingga kini. Sebab tempat ini adalah tempat aku menikmati kesendirian. Menatap puncak bebatuan di mana debit air jatuh serentak bersamaan. Menyapa setiap keindahan terpancar oleh setiap satuan luasan yang tersapu cahaya perlahan. Menghiasi telinga dengan nada-nada alam yang tidak mungkin aku temukan di hiruk-pikuk kehidupan kota, sembari duduk mendekap lutut di atas batu setinggi satu setengah meter.
Sungguh indah. Sebuah area terisolasi dinding-dinding batu membentuk huruf U jika dilihat dari atas. Dingin menyejukkan, air mengalir mencelupkan mata kaki. Sayangnya jarang sekali orang yang mau ke tempat ini. Sebab agar sampai di tempat ini dan merasakan nikmat suguhan keindahannya, harus berjalan kaki selama lebih kurang tigapuluh menit. Itupun bagi mereka yang sudah terbiasa dengan medannya. Sebab jalan yang harus dilalui adalah lumut bebatuan dan sangat licin. Bukan hanya itu, ada sebuah jalan setapak dengan lebar setengah meter di samping jurang yang harus ditaklukkan untuk bisa mereguk keindahan air terjun di tempat ini. Itu adalah jalan yang menjadikan orang berpikir dua kali untuk melewatinya meskipun ia penasaran akan keindahan di sini. Di tempat itulah uji adrenalin dimulai. Jika aku melewati jalan itu maka jantungku berdegup kencang. Laju aliran darah terakselerasi dalam hitungan detik. Aku juga harus memastikan bahwa setiap pijakan langkahku tidak akan bergeser sedikitpun. Sebab jika itu terjadi maka mungkin Malaikat Maut sudah menanti di dasar jurang. Dan itulah yang terbayang olehku setiap kali aku melewatinya.
Lalu apa yang membuatku mau menempuh perjalanan penuh resiko ini? Ayahku. Belilaulah yang membuatku mau untuk selalu datang ke sini setiap kali aku memiliki waktu luang. Ayahku yang pertama kali mengajakku mereguk keindahan ini. Aku masih ingat pelajaran pertama yang ia berikan. Ketika kami sampai di bawah air terjun ia mengatakan: ”Untuk dapat menikmati keindahan diperlukan keberanian dan kemantapan hati.” Kata-kata itu selalu mengiang di telinga ketika aku hampir menyerah menjalani pahitnya hidup. Wajar saja jika sampai hari ini aku tetap mengingatnya. Sebab untuk mendapatkan pelajaran itu aku harus mengalami terlebih dulu. Sungguh pembelajaran bermakna. Tidak seperti di bangku sekolah. Guru hanya memberikan pesan moral dan kata-kata motivasi tanpa memberikan pengalaman belajar mengesankan. Masuk telinga kanan keluar telinga kiri. “Lihatlah mereka masih terus penasaran sampai hari ini bahkan sampai mereka mati. Itulah yang disebut dengan mati penasaran.” Ayahku menutup pelajaran hari itu.
Lamunanku telah melayang begitu jauh. Menembus dimensi waktu saat aku masih remaja dulu. Menghadirkan dan merasakan kembali saat-saat bersama ayah dan ketiga kakak lelakiku di tempat ini. Bermain air dan mandi di air terjun. Bercanda dan makan minum bekal di tempat ini. Tapi semenjak ayahku pergi, hanya aku yang masih sering ke sini. Ayahku pergi di tempat ini. Ketika kami sedang dalam perjalanan pulang, langit mendung dan turun hujan. Saat itulah ayahku tergelincir dan jatuh ke jurang. Aku bersama ketiga kakakku tidak bisa berbuat apa-apa selain menangis dan berusaha agar segera tiba di rumah, memberi tahu kejadian itu pada ibu. Itu sebab aku sering ke sini memutar ulang memori masa lalu. Mengingat-ingat bait-bait hikmah ayahku terlisan di tempat ini. Ia hilang di tempat ia menemukan.
Aku terus tenggelam dalam lautan kenangan hingga tiba-tiba sentuhan lembut di bahu kanan membuyarkan lamunanku. Terasa tidak asing dengan sentuhan tangan yang diberikan olehnya. Aku yakin aku sangat mengenalnya. Sentuhan tersebut menstimulus meisner di bahuku dan mentransmisikan ke otak. Dalam hitungan sepersekian detik aku langsung mampu mengidentifikasi bahwa ini adalah tangan ayahku. Aku tidak percaya. Apakah benar ini tangan ayahku? Apa benar ayahku masih hidup? Aku tidak berani menoleh. Nafasku sesak. Jantungku berdegup semakin cepat. Badanku gemetar. Tapi aku memberanikan diri menoleh ke kiri dengan sangat perlahan, hati-hati, dan penuh perasaan takut. Ia langsung mendekap erat tubuhku tepat saat aku mencipta wajahnya di bintik kuning mataku.
“Kapan kamu ke sini?” Ayah bertanya setelah terlebih dulu melepas dekapannya.
“Baru saja.” Jawabku sambil menatap air terjun. Aku menghela nafas dalam. Berharap udara dingin mampu menyejukkan hati.
“Aku suka dengan semua keindahan yang disuguhkan di tempat ini. Terutama air terjun itu. Juga bebatuan. Angin yang berdesir menyelinap masuk ke rongga telinga. Dan semuanya. Mereka bersatu padu menghipnotisku untuk menghilangkan segala penat dan mengangkat beban hidup. Mereka juga menjadi pemicu pintu memori di kepalaku terbuka sehingga rekaman indah dulu dapat aku rasakan. Tempat ini sungguh benar-benar indah!” Aku berusaha mengungkapkan detail keindahan tempat ini kepada ayah.
“Jadi itu yang menjadikanmu sering datang ke sini?”
“Ya.” Jawabku pelan.
Ayah tersenyum. Ia berjalan-jalan mencelupkan kakinya ke dalam air hingga celananya basah sampai lutut. Menghentikan langkahnya tepat di atas batu yang menjadikannya ia berdiri dengan mata kaki segaris dengan permukaan air. Ia tidak berucap apa-apa. Lalu kembali berjalan-jalan seperti sebelumnya dan mendekat kepadaku.
“Kamu yakin tempat ini benar-benar indah?”
Aku cuma mengangguk.
“Benarkah air terjun itu indah? Benarkah air terjun yang membuatmu merasa tenang?” Aku terdiam. Tiba-tiba ia mengulurkan tangan kirinya dan memegang tangan kananku. Lalu menuntunku mencelupkan kaki ke dalam air dan masuk menembus air terjun. Pakaianku basah kuyup. Aku kedinginan. Tapi ayah tidak memperdulikanku. Ia justru mengajak dan menuntun jemariku merengkuh paku-pakuan dan duduk di atas batu besar dekat air terjun. Ia mengambil dan membuka tas di punggungnya. Lalu ia memintaku ganti baju di cekungan belakang air terjun.
Jendela kulit di seluruh permukaan tubuhku menutup diri. Menyekap panas dan membiarkan ia menyebar ke seluruh tubuh. Mencipta kesetimbangan termis. Aku sudah tidak kedinginan dan kembali duduk bersamanya di atas batu seperti sebelumnya. Aku merebahkan tubuhku di dadanya. Dan ia membelai lembut gerai rambut panjangku.
“Sayang...jangan pernah tertipu dengan berkeyakinan bahwa tempat ini yang memberikan keindahan dan mampu menenteramkan hatimu.” Aku hanya diam mendengar untaian kata-kata dari lisannya sambil terus menikmati keindahan di depan mata.
“Sejatinya kesejukan yang kamu rasakan, keindahan yang menenangkan, bukanlah berasal dari tempat ini. Jangan pernah tertipu dengan membuat simpulan seperti itu. Kamu tahu kenapa aku mengajakmu berdiri di bawah air terjun hingga kamu basah kuyup kedinginan dan aku tidak peduli? Kenapa aku menuntun jemarimu merengkuh paku-pakuan dan duduk di atas batu besar itu? Agar kamu tahu, bukan itu yang membuatmu merasa tenang dan damai.” Aku tidak mengerti kenapa ia berkata seperti itu dan apa tujuannnya.
“Kebanyakan manusia merasa bahwa tempat-tempat indah adalah sebab ia beroleh ketenangan, ketenteraman, dan kesenangan. Hakikatnya bukan! Bukan itu yang mencipta semua rasa itu. Aku takut jika kamu juga seperti mereka. Menjadikan tempat ini sebagai tempat mencurahkan segala rasa dengan terus tenggelam dalam memori silam. Larut dalam kenangan dengan menghadirkan wajah ayahmu di sini.”
“Lalu?” Tanyaku meminta ia melanjutkan.
“Mereka sengaja meluangkan waktu pergi ke tempat-tempat wisata berharap ia akan mendapatkan ketenangan, kedamaian, ketenteraman, kepuasan, dan semua rasa yang merujuk pada kebahagiaan. Berharap semua penat pecah tergilas keindahan. Tapi ketika semua mereka dapatkan apa yang mereka rasakan? Mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan, tapi sedikit, bahkan sangat sedikit. Sisanya adalah kepenatan seperti saat sebelum mereka datang.” Ayah terus berkata-kata. Jemarinya terus membelai lembut setiap helai rambutku hingga berujung di bahu.
“Itu kenapa aku mengajakmu berdiri di bawah air terjun, menjamah tetumbuhan, dan merasakan sentuhan permukaan bebatuan, yang kamu anggap mampu menghipnotismu. Semua itu agar kamu merasakan bahwa sejatinya bukan mereka yang menghipnotismu sehingga beroleh kebahagiaan. Tapi yang mampu menyuguhkan kebahagiaan semata-mata hanyalah celupan kasih sayang Allah kepada hamba-Nya. Dan kamu bisa melakukan itu di mana pun dan kapan pun.” Entah kenapa hatiku terenyuh mendengar bait-bait nasihatnya. Mataku pun berkaca-kaca. Lagi aku merasa tidak percaya kalau ia bisa melantunkan hikmah seperti itu. Aku merasa itu adalah suara ayahku. Maka air mata pun menetes membasahi pipi disambut dengan sentuhan jemari mengusap lembut.
“Sayang...pahamilah itu. Keindahan pada hakikatnya adalah celupan kasih sayang Allah kepada setiap hamba-Nya. Ia menghadirkan cinta dan kasih sayang-Nya dengan panorama yang menenteramkan hati. Irama suara alam penyejuk jiwa. Dan semuanya. Tidak terkecuali paras cantikmu ini.” Ia mengatakan paras cantik dengan mencubit sebilah pipiku. Aku tersipu malu. Aku bersyukur mempunyai suami sepertinya. Aku selalu manja di depannya. Aku selalu ingin memanggilnya “Mas.” Tapi kami sudah bersepakat jika dikaruniai putera maka mulai saat itu aku harus memanggilnya "Ayah." Dan hari ini ia membuktikan bahwa ia bisa menjadi "Ayah", seperti ayahku. Bijak dalam berucap dan sarat hikmah.
Aku mengerti. Hakikat keindahan adalah celupan kasih sayang Allah kepada setiap hamba-Nya. Lalu kami beranjak dari batu besar. Deru air terjun terasa semakin menjauh. Kami berjalan mesra bergandengan menyusuri air, kerikil, dan bebatuan.
Sungguh indah. Sebuah area terisolasi dinding-dinding batu membentuk huruf U jika dilihat dari atas. Dingin menyejukkan, air mengalir mencelupkan mata kaki. Sayangnya jarang sekali orang yang mau ke tempat ini. Sebab agar sampai di tempat ini dan merasakan nikmat suguhan keindahannya, harus berjalan kaki selama lebih kurang tigapuluh menit. Itupun bagi mereka yang sudah terbiasa dengan medannya. Sebab jalan yang harus dilalui adalah lumut bebatuan dan sangat licin. Bukan hanya itu, ada sebuah jalan setapak dengan lebar setengah meter di samping jurang yang harus ditaklukkan untuk bisa mereguk keindahan air terjun di tempat ini. Itu adalah jalan yang menjadikan orang berpikir dua kali untuk melewatinya meskipun ia penasaran akan keindahan di sini. Di tempat itulah uji adrenalin dimulai. Jika aku melewati jalan itu maka jantungku berdegup kencang. Laju aliran darah terakselerasi dalam hitungan detik. Aku juga harus memastikan bahwa setiap pijakan langkahku tidak akan bergeser sedikitpun. Sebab jika itu terjadi maka mungkin Malaikat Maut sudah menanti di dasar jurang. Dan itulah yang terbayang olehku setiap kali aku melewatinya.
Lalu apa yang membuatku mau menempuh perjalanan penuh resiko ini? Ayahku. Belilaulah yang membuatku mau untuk selalu datang ke sini setiap kali aku memiliki waktu luang. Ayahku yang pertama kali mengajakku mereguk keindahan ini. Aku masih ingat pelajaran pertama yang ia berikan. Ketika kami sampai di bawah air terjun ia mengatakan: ”Untuk dapat menikmati keindahan diperlukan keberanian dan kemantapan hati.” Kata-kata itu selalu mengiang di telinga ketika aku hampir menyerah menjalani pahitnya hidup. Wajar saja jika sampai hari ini aku tetap mengingatnya. Sebab untuk mendapatkan pelajaran itu aku harus mengalami terlebih dulu. Sungguh pembelajaran bermakna. Tidak seperti di bangku sekolah. Guru hanya memberikan pesan moral dan kata-kata motivasi tanpa memberikan pengalaman belajar mengesankan. Masuk telinga kanan keluar telinga kiri. “Lihatlah mereka masih terus penasaran sampai hari ini bahkan sampai mereka mati. Itulah yang disebut dengan mati penasaran.” Ayahku menutup pelajaran hari itu.
Lamunanku telah melayang begitu jauh. Menembus dimensi waktu saat aku masih remaja dulu. Menghadirkan dan merasakan kembali saat-saat bersama ayah dan ketiga kakak lelakiku di tempat ini. Bermain air dan mandi di air terjun. Bercanda dan makan minum bekal di tempat ini. Tapi semenjak ayahku pergi, hanya aku yang masih sering ke sini. Ayahku pergi di tempat ini. Ketika kami sedang dalam perjalanan pulang, langit mendung dan turun hujan. Saat itulah ayahku tergelincir dan jatuh ke jurang. Aku bersama ketiga kakakku tidak bisa berbuat apa-apa selain menangis dan berusaha agar segera tiba di rumah, memberi tahu kejadian itu pada ibu. Itu sebab aku sering ke sini memutar ulang memori masa lalu. Mengingat-ingat bait-bait hikmah ayahku terlisan di tempat ini. Ia hilang di tempat ia menemukan.
Aku terus tenggelam dalam lautan kenangan hingga tiba-tiba sentuhan lembut di bahu kanan membuyarkan lamunanku. Terasa tidak asing dengan sentuhan tangan yang diberikan olehnya. Aku yakin aku sangat mengenalnya. Sentuhan tersebut menstimulus meisner di bahuku dan mentransmisikan ke otak. Dalam hitungan sepersekian detik aku langsung mampu mengidentifikasi bahwa ini adalah tangan ayahku. Aku tidak percaya. Apakah benar ini tangan ayahku? Apa benar ayahku masih hidup? Aku tidak berani menoleh. Nafasku sesak. Jantungku berdegup semakin cepat. Badanku gemetar. Tapi aku memberanikan diri menoleh ke kiri dengan sangat perlahan, hati-hati, dan penuh perasaan takut. Ia langsung mendekap erat tubuhku tepat saat aku mencipta wajahnya di bintik kuning mataku.
“Kapan kamu ke sini?” Ayah bertanya setelah terlebih dulu melepas dekapannya.
“Baru saja.” Jawabku sambil menatap air terjun. Aku menghela nafas dalam. Berharap udara dingin mampu menyejukkan hati.
“Aku suka dengan semua keindahan yang disuguhkan di tempat ini. Terutama air terjun itu. Juga bebatuan. Angin yang berdesir menyelinap masuk ke rongga telinga. Dan semuanya. Mereka bersatu padu menghipnotisku untuk menghilangkan segala penat dan mengangkat beban hidup. Mereka juga menjadi pemicu pintu memori di kepalaku terbuka sehingga rekaman indah dulu dapat aku rasakan. Tempat ini sungguh benar-benar indah!” Aku berusaha mengungkapkan detail keindahan tempat ini kepada ayah.
“Jadi itu yang menjadikanmu sering datang ke sini?”
“Ya.” Jawabku pelan.
Ayah tersenyum. Ia berjalan-jalan mencelupkan kakinya ke dalam air hingga celananya basah sampai lutut. Menghentikan langkahnya tepat di atas batu yang menjadikannya ia berdiri dengan mata kaki segaris dengan permukaan air. Ia tidak berucap apa-apa. Lalu kembali berjalan-jalan seperti sebelumnya dan mendekat kepadaku.
“Kamu yakin tempat ini benar-benar indah?”
Aku cuma mengangguk.
“Benarkah air terjun itu indah? Benarkah air terjun yang membuatmu merasa tenang?” Aku terdiam. Tiba-tiba ia mengulurkan tangan kirinya dan memegang tangan kananku. Lalu menuntunku mencelupkan kaki ke dalam air dan masuk menembus air terjun. Pakaianku basah kuyup. Aku kedinginan. Tapi ayah tidak memperdulikanku. Ia justru mengajak dan menuntun jemariku merengkuh paku-pakuan dan duduk di atas batu besar dekat air terjun. Ia mengambil dan membuka tas di punggungnya. Lalu ia memintaku ganti baju di cekungan belakang air terjun.
Jendela kulit di seluruh permukaan tubuhku menutup diri. Menyekap panas dan membiarkan ia menyebar ke seluruh tubuh. Mencipta kesetimbangan termis. Aku sudah tidak kedinginan dan kembali duduk bersamanya di atas batu seperti sebelumnya. Aku merebahkan tubuhku di dadanya. Dan ia membelai lembut gerai rambut panjangku.
“Sayang...jangan pernah tertipu dengan berkeyakinan bahwa tempat ini yang memberikan keindahan dan mampu menenteramkan hatimu.” Aku hanya diam mendengar untaian kata-kata dari lisannya sambil terus menikmati keindahan di depan mata.
“Sejatinya kesejukan yang kamu rasakan, keindahan yang menenangkan, bukanlah berasal dari tempat ini. Jangan pernah tertipu dengan membuat simpulan seperti itu. Kamu tahu kenapa aku mengajakmu berdiri di bawah air terjun hingga kamu basah kuyup kedinginan dan aku tidak peduli? Kenapa aku menuntun jemarimu merengkuh paku-pakuan dan duduk di atas batu besar itu? Agar kamu tahu, bukan itu yang membuatmu merasa tenang dan damai.” Aku tidak mengerti kenapa ia berkata seperti itu dan apa tujuannnya.
“Kebanyakan manusia merasa bahwa tempat-tempat indah adalah sebab ia beroleh ketenangan, ketenteraman, dan kesenangan. Hakikatnya bukan! Bukan itu yang mencipta semua rasa itu. Aku takut jika kamu juga seperti mereka. Menjadikan tempat ini sebagai tempat mencurahkan segala rasa dengan terus tenggelam dalam memori silam. Larut dalam kenangan dengan menghadirkan wajah ayahmu di sini.”
“Lalu?” Tanyaku meminta ia melanjutkan.
“Mereka sengaja meluangkan waktu pergi ke tempat-tempat wisata berharap ia akan mendapatkan ketenangan, kedamaian, ketenteraman, kepuasan, dan semua rasa yang merujuk pada kebahagiaan. Berharap semua penat pecah tergilas keindahan. Tapi ketika semua mereka dapatkan apa yang mereka rasakan? Mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan, tapi sedikit, bahkan sangat sedikit. Sisanya adalah kepenatan seperti saat sebelum mereka datang.” Ayah terus berkata-kata. Jemarinya terus membelai lembut setiap helai rambutku hingga berujung di bahu.
“Itu kenapa aku mengajakmu berdiri di bawah air terjun, menjamah tetumbuhan, dan merasakan sentuhan permukaan bebatuan, yang kamu anggap mampu menghipnotismu. Semua itu agar kamu merasakan bahwa sejatinya bukan mereka yang menghipnotismu sehingga beroleh kebahagiaan. Tapi yang mampu menyuguhkan kebahagiaan semata-mata hanyalah celupan kasih sayang Allah kepada hamba-Nya. Dan kamu bisa melakukan itu di mana pun dan kapan pun.” Entah kenapa hatiku terenyuh mendengar bait-bait nasihatnya. Mataku pun berkaca-kaca. Lagi aku merasa tidak percaya kalau ia bisa melantunkan hikmah seperti itu. Aku merasa itu adalah suara ayahku. Maka air mata pun menetes membasahi pipi disambut dengan sentuhan jemari mengusap lembut.
“Sayang...pahamilah itu. Keindahan pada hakikatnya adalah celupan kasih sayang Allah kepada setiap hamba-Nya. Ia menghadirkan cinta dan kasih sayang-Nya dengan panorama yang menenteramkan hati. Irama suara alam penyejuk jiwa. Dan semuanya. Tidak terkecuali paras cantikmu ini.” Ia mengatakan paras cantik dengan mencubit sebilah pipiku. Aku tersipu malu. Aku bersyukur mempunyai suami sepertinya. Aku selalu manja di depannya. Aku selalu ingin memanggilnya “Mas.” Tapi kami sudah bersepakat jika dikaruniai putera maka mulai saat itu aku harus memanggilnya "Ayah." Dan hari ini ia membuktikan bahwa ia bisa menjadi "Ayah", seperti ayahku. Bijak dalam berucap dan sarat hikmah.
Aku mengerti. Hakikat keindahan adalah celupan kasih sayang Allah kepada setiap hamba-Nya. Lalu kami beranjak dari batu besar. Deru air terjun terasa semakin menjauh. Kami berjalan mesra bergandengan menyusuri air, kerikil, dan bebatuan.
5 komentar