Rabu, 01 April 2015

Tepuk Keikhlasan

Tepuk Keikhlasan

Tersenyum. Mengapungkan tawa ke udara. Menghempaskan rasa sesak dada terpasung jawaban yang tidak pernah terpikir. Lalu awan di langit berkabung seakan-akan. Mencoba membujuk resapan derai angin agar kamu cium dalam-dalam. Setapak jalan, jalan air ketika hujan, memandang resah sembari menaburkan debu dan membasuh mukamu lembut. Pikiranmu galau. Kamu tidak mendengar deru lalu lalang kendaraan saat kamu menyeberang. Yang terdengar hanya bunyi klakson mobil yang menyentak membuyarkan lamunanmu.

“Maaf Pak.” Katamu sembari merunduk. Terlihat ekspresi kesal di balik kaca. Maklum saja karena nyaris kamu tercium H 74 PE yang melekat di antara kedua mata serangga besi. Lalu mobil itu meluncur diikuti tatapan mata kosong yang tereduksi densitas keakuannya.

Langkahmu lunglai. Tenagamu habis tersedot rasa tidak percaya. Terperas kebekuan pikir. Lalu kamu merebahkan diri di bawah pohon mangga rindang. Mata menatap langit biru. Mencoba menembus awan putih lembut merayap pada bidang udara. Hari yang cerah, sebetulnya. Tapi apa manfaat. Hati sedang dirundung kegalauan rasa yang menerkam dan mencabik-cabik dinding hati. Memang benar apa yang tertulis hikmah sastra dalam Ruang Hati. Yang jika senang ia akan berhiaskan bunga-bunga, berpayung pelangi, berlantaikan permadani, beraroma kasturi, dan berselimut hangat. Tapi jika sedih ia dipayungi awan gelap hitam, berasa masam, beralas duri, dan berdekap dingin. Begitulah kira-kira hati itu. Panorama indah yang memayungi kepala tidak berasa apa-apa. Tidak mampu menyuntikkan damai setitik saja.

“Aku tidak bisa.” Tiga kata itu masih terus terasa nyeri di telinga. Membayang-bayang terbang di setiap sel otakmu. Meloncat dan melekat di setiap folder memori kepala. Seperti virus. Yang jika kamu click maka virus itu akan menduplikasi diri dan menyebar menginfeksi setiap file. Tiga kata itu benar-benar laksana virus yang terus menggerogoti file semangat hidupmu. Hingga tanpa terasa badanmu lemah. Bahkan sekadar mengangkat lengan pun tak kuasa. Celakanya kamu terus mengingatnya. Bahkan detail kata-kata yang meluncur terbata-bata dari lisan terpantul-pantul tirai pemisah ruang tamu masih terekam jelas.
“Maaf, aku tidak bisa.”
“Maksudnya?”
“Aku tidak bisa memenuhi keinginanmu.”
Sebenarnya kamu sangat paham apa yang ia katakan. Tidak perlu kamu bertanya maksudnya apa. Bahkan sebelum kata-kata itu keluar dari lisannya kamu sudah memprediksi sebelumnya. Prediksi dengan sebuah hipotesis yang memiliki sebuah konsekuensi yang siap kamu tanggung apapun jawabannya. Itu sebab sedari dulu kamu tidak pernah berani mencoba menghiasi bibir dengan untaian kata cinta apalagi melisankannya.

Kamu tidak habis pikir. Kenapa lisan tak mampu sanggup menahan. Tidak teguh untuk menangguhkan sampai waktu yang tepat nanti. Atau menunggu rasa itu terbunuh sendiri. Sehingga hari-hari tetap berhiaskan senyum hati. Tersentuh sejuta harapan tersembunyi dalam diri. Fokus dengan apa yang hendak kamu dapatkan sebagai manusia normal. Tapi apa makna. Fakta hari ini lain. Lain sekali. Semua bermula saat kamu melihat ia sedang asyik bercanda dengan temanmu, pria. Pasti bagimu akan terasa biasa jika kamu tidak terpasung rasa. Pasti akan netral saja tanpa ada muatan apa-apa terhadapnya.

“Tidak layak kamu bersikap seperti itu sebagai anak puteri.” Kamu menegur ia keesokan harinya di ruang perpustakaan. Lalu ia berseloroh melantunkan argumen. Argumen yang sama sekali tidak masuk akal bagimu. Argumen yang sama sekali tidak mungkin tertulis dalam sebaris buku di perpustakaan manapun. Sehingga kamu tidak merasa layak kalau diungkapkan. Kamu bisa memahami atau setidaknya mencoba untuk memahami. Wajar ia berkata seperti itu karena merasa bahwa kamu tidak berhak untuk menegurnya. “Memang kamu siapa?! Apa hakmu menilai tentangku?! Kok berani-beraninya mengatakan kalau aku tidak layak bersikap seperti itu?!” mungkin itu sebenarnya yang ada di dalam pikirannya. Tapi tidak mungkin ia ucapkan. Sebab kamu tahu persis kepribadiannya. Sebab itu juga kamu tertawan harapan kelak akan bersama.

“Kamu merasa ada yang aneh,” sinis terasa letupan bibirnya setelah terlebih dulu duduk di kursi belakang meja perpustakaan yang lebar, yang sama sekali tidak tepat ditempatkkan di ruangan itu. Lalu kamu terdiam. Menunggu kata-kata apalagi yang akan keluar dari bibir tipis yang tidak pernah terpoles lipstick. Kamu hanya menatap mencuri-curi. Seanggun desai penampilan sederhana terus menyita fokus pikiranmu selang sesaat. Meski bukan kali pertama kamu mencuri tatap. Tetapi tetap sama rasa. Bahkan kali ini lebih dahsyat. Mengguncang asa sebab jiwa tak kuasa menahan perasaan yang membuncah, memandikan mimpi anak muda di penghujung masa lajangnya.

“Kamu cemburu ya?” Kamu terkejut terpaku dalam sekotak udara pengap berisi tekanan tinggi menukik kepala. Kamu merasakan udara di ruang perpustakaan bersatu padu merapatkan diri kemudian menghantam ragamu. Mematahkan sendi-sendi tubuhmu. Menurunkan detak jantung hingga laju alir darah setiap pembuluh lamban. Buku-buku di rak display sebelah kanan kiri meja tempat kamu terpojok tertuduh, menatap tajam. Musik instrumental yang semenit lalu terasa meneduhkan suasana, kini berirama dalam gejolak kebisuan nada, membenamkan harapan buah interferensi destruktif dan mengatupkan lisan tanpa memberi kesempatan sedikitpun terbuka. Kamu terdiam. Lebih tepatnya bisu. Tak tahu harus berucap apa. Sebab diammu juga jawaban yang sangat amat mudah dibaca dan dipahami tanpa sedikit penghayatan sekalipun. Lalu ia mendorong kursi ke belakang sembari berdiri dan pergi meninggalkanmu yang terpasung beku menyedihkan.

Sejak hari itu harimu tidak biasa. Ada sedikit kekhawatiran menusuk penggalan-penggalan waktumu. Aktivitas harianmu semakin tidak produktif. Prinsip-prinsip hidup penuh motivasi meleleh begitu saja. Prinsip hidup yang selalu kamu pegang. “Bedakan produktivitas dengan aktivitas.” Mulai hari itu sama saja. Tidak ada bedanya antara produktivitas dengan sekadar aktivitas. Semua berlalu begitu saja. Bahkan ada hari yang sama sekali tanpa aktivitas yang bermanfaat. Kamu tenggelam. Tenggelam dalam lautan malu oleh sebuah rahasia rasa yang sudah mulai terkuak.

“Tidak boleh terus seperti ini.” Katamu dalam hati. Seperti ada bisikan mengalun deras di telinga jiwamu di hari itu. Hari kelima dari peristiwa membingungkan di ruang perpustakaan. Bisikan itu mampu memberikan energi kepadamu untuk bangkit dari keterpurukan. “Ya, kamu tidak boleh terus-terusan seperti ini. Kamu tahu apa yang harus kamu lakukan.” Pencerahan menyapamu saat itu juga. Lalu tanpa pikir panjang kamu berjalan sambil bernyanyi langgam-langgam everlasting. Menatap bunga di tepian. Melupakan semua risau pertanyaan. Menghibur diri dengan menikmati setiap langkah kaki di jalan setapak bertabur debu.

“Tok tok tok!” kamu mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Nihil. Tidak ada jawaban. Kamu mengetuknya lagi. Masih tetap sama. Kamu berdiri melekatkan punggungmu di tembok warna putih pudar. Sembari menatap ke jalan depan rumah, tangan kananmu mengetuk pintu dan berucap salam.
“Waalaikumussalam...” terdengar lirih dibarengi suara pintu terbuka.
“Mari, silakan masuk.” Pintanya ramah. Sesaat lalu berbalik hilang menyelinap di balik tirai biru batas ruang tamu dan tengah.

Kamu masuk dipenuhi perasaan gugup. Lalu duduk tanpa terlebih dulu menunggu pinta menyilakan. Menatap langit-langit rumah. Menyisir setiap hiasan dinding. Foto, kaligrafi, juga lukisan. Ini kali ke tujuh kamu ke sini. Tapi kali pertama kamu meyaksikan lukisan apel merah besar, satu setengah kali dua meter persegi, yang menyita fokus perhatianmu. Kamu membelokan badanmu. Sebab lukisan itu melekat di dinding sebelah kirimu, kira-kira lima meter dari tempat kamu duduk. Matamu terus tertuju padanya. Mengecapi harmoni warna indah yang disuguhkan. "Sempurna," gumammu dalam hati. Bintik-bintik yang menempel di kulitnya benar-benar menyatu. Tumpukan putih di bagian puncak cembung daging buahnya melengkapkan kesan tiga dimensi. Rasanya ingin sekali kamu menjamah dan mengiggitnya. Kamu beranjak dari tempat duduk, mendekat, dan menyentuhnya. Merasakan goresan louvre pada kanvas. Ternyata kamu belum puas. Kamu merasa gila tapi tidak mampu menahan keinginanmu untuk mencium dan menempelkan pipi kananmu di apel itu. Tidak ada yang istimewa. Memang kamu gila. Tapi saat kamu menempelkan pipimu kamu jadi tahu bahwa di belakang tempat kamu duduk juga ada lukisan apel. Apel yang terbelah. Kamu bertanya dalam hati: ”Kenapa hanya sebelah?”

“Dari mana saja?” kamu terkejut hingga lewat begitu saja tanya pembuka tanpa ada jawab dari lisanmu. Ia membuka tirai, berjalan membawa dua gelas air teh yang masih menguap, lalu duduk di kursi menghadap lukisan apel yang tadi kamu cium. Begitulah yang selalu ia lakukan setiap kali kamu datang. Membuatkan minuman dan duduk tidak tepat di depanmu. Selalu dan selalu di sebelah kanan depanmu. Sehingga jika kamu dan dia menatap ke depan maka tatapan matamu dan matanya berpotongan tegak lurus di atas meja. Ia tidak pernah mau menatap lawan bicaranya jika itu kamu. Kamu tidak tahu kenapa tapi justru itu kamu menjadi semakin terpaut hati dengannya.
Kamu diam. Ia pun diam merunduk. Dadamu sesak. Rasamu gelisah. Tidak terucap satu kata pun. Berulangkali kamu hanya menarik nafas dalam dan mengempaskan perlahan.

“Besok ulangan ya?” tanya pembuka kebekuan muncul darinya.
“Ya, semi open book ya? Sudah buat resumnya?”
“Belum, paling nanti malam.” Ia tersenyum.
“Kamu juga belum? Penginnya sih ke sini sekalian pinjem resumnya.”
“Insya Allah besok aku copy-kan.”
“Wauw...terima kasih.”
“Halaah...Biasanya juga begitu kan? Oya, silakan tehnya diminum! Ntar keburu dingin.” Ia tersenyum.
“Tuan rumah duluan dong!”
Read more

Kamis, 15 September 2011

Pulang Kampung

Pulang Kampung

Dek dek, dek dek! Menatap langit-langit kereta. Bocor sana-sini. Sesak. Sedikit sekali ruang gerak. Berdiri di dekat pintu toilet. Bau. Tak apa, kelak akan hilang dengan sendirinya. Menguap dengan segala tatapan ini memandang hijau di seberang ujung mata ke depan gerbang desa manunggal.

Selamat datang. Desa Lebeteng Kec. Tarub Kab. Tegal.

Badanmu tertumpu di kaki kanan. Bukan Kamu tidak tahu mana yang terbaik. Bukan tidak mengerti bagaimana harusnya berdiri agar tidak cepat capek. Tapi crowded. Terlalu. Belum lagi orang bergantian keluar masuk toilet. Menyebalkan.

Bersyukurlah. Kata mantra yang ada dan harus selalu ada di dalam hati. Agar nikmat tetap terberi dan terus diberi. Bahkan diperbaiki.

Hari ini adalah hari pulang kampung. Lebaran tinggal satu hari lagi. Pentas berdesakan memang pantas. Semua orang ingin merayakan lebaran di kampung halaman mereka dilahirkan. Berkumpul bersama keluarga. Juga berkunjung ke rumah saudara, rumah kakek-nenek, mbah buyut, om-tante. Berjalan mengitari kampung dari ujung ke ujung. Itu mungkin kenapa orang menyebutnya ujung-ujung.

“Mas turun dimana?” tanya orang di sebelahmu.
“Tegal.” Kamu tidak balik bertanya. Waktunya tidak tepat pikirmu. Ngobrol di saat berdiri dengan bertumpu pada satu kaki adalah pemborosan energi.
“Aku juga di Tegal.” Jawabnya tanpa ditanya. Dia ternyata memang ingin sekali ngobrol. Padahal Kamu sudah sengaja tidak balik tanya.

Kamu sudah mulai pusing. Bau toilet, bau keringat orang-orang, bersatu menghujam kedua lubang hidungmu. Dari dulu tidak pernah berubah. Rasanya ingin sekali menghujat pemerintah yang belum juga memperbaiki sarana transportasi di negeri ini khususnya kereta yang kamu tumpangi. Kotor. Rusak. Penumpang berlebih. Meski di setiap gerbong terdapat tulisan 64 penumpang, selalu saja lebih. Tapi untuk apa menghujat. Pasti tidak akan ada hasil. Lagian salahmu juga. Kenapa kamu mau naik kereta yang sudah jelas penuh sesak seperti ini? Tapi tentu kamu juga tidak mungkin menggunakan bus eksekutif mengingat kamu seorang mahasiswa miskin. Tanpa kamu harus berpikir lebih dulu sudah tentu kamu akan memutuskan untuk tidak melakukannya.

Terlalu lama kamu berdiri. Sesak. Panas. Keringat sudah membasuh permukaan tubuhmu. Kamu juga sudah sangat lelah. Menyisir tempat duduk tapi penuh. Menghela nafas dalam berkali-kali. Justru udara pengap yang merasuk paru-parumu. Dan kamu pun terjatuh.

Dia. Duduk. Diam. Wajahnya begitu tenang. Teduh menyejukkan. Sesekali menatap ke arahmu yang duduk tepat di depannya. Seringnya membiarkan matanya bebas mencipta keindahan pedesaan dari balik kaca jendela kereta. Hutan juga ombak yang pecah di pantai. Indah memang. Pantai begitu dekat bahkan seakan kamu bisa menyentuh ombak yang menyambar rel kereta.

Tersenyum. Tulus. Kamu balas. Masih muda. Kira-kira 30-an tahun.

“Masih kuliah dek?” Ia membuka bicara. Senyum dengan segenap rasa sebisa. Matanya tajam tapi sejuk. Membuat kamu tak bisa mengelak lepas tanyanya.
“Masih mas. Mas kuliah juga?”
“Aku kerja. Pulang kampung ya? Ke mana? tanyanya.
“Tegal” jawabmu singkat.
“Pulang kampung memang menyenangkan.”
“Ya mas, memang menyenangkan,” kamu menguatkan.
“Menyenangkan sebab kita bisa menumpahkan segenap kerinduan kepada setiap orang yang kita cintai. Bercengkerama dengan mereka. Bercanda. Makan dan jalan-jalan bersama. Bukan begitu?”
“Bukaan..heheghz.” Kamu mengajaknya bercanda sedikit biar agak cair. “Ya mas, itulah alasannya. Mas juga begitu kan?”
“Ya mungkin itu alasan semua orang. Melepas dan menghempaskan kerinduan adalah kenikmatan. Cinta selalu menumbuhkan rasa selalu ingin bertemu dan bersama. Itu sebab pulang kampung selalu dilakukan. Meski harus berdesakan dan berdiri karena tidak dapat tempat duduk tetap saja semua melakukannya.” Paparnya panjang. Kamu hanya diam.

“Pulang adalah fitrah. Seperti kita hidup di dunia ini. Kelak akan ada saatnya kita akan merindukan dan benar-benar menginginkan pulang kepada sang Pencipta. Perbedaanya hanya satu. Saat akan pulang kampung kita sudah menyiapkan semuanya. Mulai dari uang untuk transportasi, pakaian, sepatu, angpao, juga dengan siapa dan kapan kita akan pulang. Detail. Bahkan saat di kampung kita akan jalan-jalan ke mana, dengan siapa, beserta kendaraannya sudah kita siapkan sedari sebelum kita pulang. Menakjubkan!”

Lagi kamu hanya diam. Asyik mendengarkan bicaranya yang berbarengan dengan suara derak roda kereta bergesekan rel di titik persambungan. Dek dek, dek dek!
“Tapi apa yang sudah kita siapkan untuk perjalanan pulang kita kepada-Nya? Tidak ada. Karena kita memang belum menginginkan pulang. Asyik terhadap nikmat dunia. Padahal pulang kepada-Nya adalah pasti. Dan perlu banyak bekal. Mungkin karena kita tidak mencintai-Nya. Lebih cinta dunia. Sehingga tidak ada kerinduan sama sekali untuk bertemu dengan-Nya dan melihat wajah-Nya. Bukankah tanda yang sudah terbukti benar kalau kita mencinta adalah kita merindukan yang kita cintai? Rindu untuk segera berjumpa dengan-Nya?”

“Kamu sudah bangun?” Terdengar suara wanita. Matamu belum jelas melihat. Samar. Kamu usap matamu. Ternyata ibumu.
“Emang apa yang tlah terjadi Bu? Kenapa aku di sini?
Ibumu tersenyum. “Alhamdulillah kamu sudah siuman. Kamu tidak sadarkan diri lebih dari tiga jam.”
“Tiga jam?” Tanyamu heran.
“Ya tiga jam. Tadi siang pukul dua belas ada orang yang menelepon ibu. Dia bilang kalau kamu sedang dirawat di rumah sakit ini. Trus ibu segera ke sini. Setiba ibu di sini ibu hanya bisa melihat kamu terdiam di atas tempat tidur. Ibu periksa seluruh badanmu. Alhamdulilah tidak ada luka. Ibu sangat khawatir. Trus ibu tanya ke dokter. Dia bilang kalau kamu pingsan di kereta. Trus ada orang yang membawamu ke sini.
“Trus orangnya mana Bu? Siapa namanya? Kamu penasaran.
“Ibu juga tidak tahu. Tapi ibu sudah tenang sekarang.”

Kamu masih terus teringat orang yang datang di alam mimpimu saat kamu pingsan. Siapa dia sebenarnya. Kamu penasaran. Semoga kamu bisa bertemu di alam nyata suatu nanti.
Read more

Senin, 15 Juni 2009

Hakikat Keindahan

Hakikat Keindahan

Lembut menyejukkan. Uap air melayang sesaat lalu jatuh menabrak ujung daun. Melekat menari riang dan menetes ke permukaan batu-batu besar. Sebagian menghambur menyergap crausse di wajah dan kulit tangan kakiku. Dingin. Yang lainnya terbang bebas dan tidak pernah tahu ke mana ia akan melekatkan tubuhnya. Menyerahkan diri sepenuhnya bereaksi dengan apa saja yang ia temui. Daun-daun suplir dan paku-pakuan lain di sekitar air terjun melenggang kanan ke kiri bolak-balik secara periodik mengikuti irama desir angin dan gemericik air di sela-sela bebatuan. Tepat di belakang air terjun terdapat cekungan dinding tanah. Dulu kali pertama melihatnya aku mengira bahwa itu goa. Tapi ternyata bukan. Cuma cekungan vertikal yang lumayan dalam. Tapi aku tetap senang meskipun keinginan untuk melihat secara langsung goa di belakang air terjun belum juga terpenuhi hingga kini. Sebab tempat ini adalah tempat aku menikmati kesendirian. Menatap puncak bebatuan di mana debit air jatuh serentak bersamaan. Menyapa setiap keindahan terpancar oleh setiap satuan luasan yang tersapu cahaya perlahan. Menghiasi telinga dengan nada-nada alam yang tidak mungkin aku temukan di hiruk-pikuk kehidupan kota, sembari duduk mendekap lutut di atas batu setinggi satu setengah meter.

Sungguh indah. Sebuah area terisolasi dinding-dinding batu membentuk huruf U jika dilihat dari atas. Dingin menyejukkan, air mengalir mencelupkan mata kaki. Sayangnya jarang sekali orang yang mau ke tempat ini. Sebab agar sampai di tempat ini dan merasakan nikmat suguhan keindahannya, harus berjalan kaki selama lebih kurang tigapuluh menit. Itupun bagi mereka yang sudah terbiasa dengan medannya. Sebab jalan yang harus dilalui adalah lumut bebatuan dan sangat licin. Bukan hanya itu, ada sebuah jalan setapak dengan lebar setengah meter di samping jurang yang harus ditaklukkan untuk bisa mereguk keindahan air terjun di tempat ini. Itu adalah jalan yang menjadikan orang berpikir dua kali untuk melewatinya meskipun ia penasaran akan keindahan di sini. Di tempat itulah uji adrenalin dimulai. Jika aku melewati jalan itu maka jantungku berdegup kencang. Laju aliran darah terakselerasi dalam hitungan detik. Aku juga harus memastikan bahwa setiap pijakan langkahku tidak akan bergeser sedikitpun. Sebab jika itu terjadi maka mungkin Malaikat Maut sudah menanti di dasar jurang. Dan itulah yang terbayang olehku setiap kali aku melewatinya.

Lalu apa yang membuatku mau menempuh perjalanan penuh resiko ini? Ayahku. Belilaulah yang membuatku mau untuk selalu datang ke sini setiap kali aku memiliki waktu luang. Ayahku yang pertama kali mengajakku mereguk keindahan ini. Aku masih ingat pelajaran pertama yang ia berikan. Ketika kami sampai di bawah air terjun ia mengatakan: ”Untuk dapat menikmati keindahan diperlukan keberanian dan kemantapan hati.” Kata-kata itu selalu mengiang di telinga ketika aku hampir menyerah menjalani pahitnya hidup. Wajar saja jika sampai hari ini aku tetap mengingatnya. Sebab untuk mendapatkan pelajaran itu aku harus mengalami terlebih dulu. Sungguh pembelajaran bermakna. Tidak seperti di bangku sekolah. Guru hanya memberikan pesan moral dan kata-kata motivasi tanpa memberikan pengalaman belajar mengesankan. Masuk telinga kanan keluar telinga kiri. “Lihatlah mereka masih terus penasaran sampai hari ini bahkan sampai mereka mati. Itulah yang disebut dengan mati penasaran.” Ayahku menutup pelajaran hari itu.

Lamunanku telah melayang begitu jauh. Menembus dimensi waktu saat aku masih remaja dulu. Menghadirkan dan merasakan kembali saat-saat bersama ayah dan ketiga kakak lelakiku di tempat ini. Bermain air dan mandi di air terjun. Bercanda dan makan minum bekal di tempat ini. Tapi semenjak ayahku pergi, hanya aku yang masih sering ke sini. Ayahku pergi di tempat ini. Ketika kami sedang dalam perjalanan pulang, langit mendung dan turun hujan. Saat itulah ayahku tergelincir dan jatuh ke jurang. Aku bersama ketiga kakakku tidak bisa berbuat apa-apa selain menangis dan berusaha agar segera tiba di rumah, memberi tahu kejadian itu pada ibu. Itu sebab aku sering ke sini memutar ulang memori masa lalu. Mengingat-ingat bait-bait hikmah ayahku terlisan di tempat ini. Ia hilang di tempat ia menemukan.

Aku terus tenggelam dalam lautan kenangan hingga tiba-tiba sentuhan lembut di bahu kanan membuyarkan lamunanku. Terasa tidak asing dengan sentuhan tangan yang diberikan olehnya. Aku yakin aku sangat mengenalnya. Sentuhan tersebut menstimulus meisner di bahuku dan mentransmisikan ke otak. Dalam hitungan sepersekian detik aku langsung mampu mengidentifikasi bahwa ini adalah tangan ayahku. Aku tidak percaya. Apakah benar ini tangan ayahku? Apa benar ayahku masih hidup? Aku tidak berani menoleh. Nafasku sesak. Jantungku berdegup semakin cepat. Badanku gemetar. Tapi aku memberanikan diri menoleh ke kiri dengan sangat perlahan, hati-hati, dan penuh perasaan takut. Ia langsung mendekap erat tubuhku tepat saat aku mencipta wajahnya di bintik kuning mataku.

“Kapan kamu ke sini?” Ayah bertanya setelah terlebih dulu melepas dekapannya.
“Baru saja.” Jawabku sambil menatap air terjun. Aku menghela nafas dalam. Berharap udara dingin mampu menyejukkan hati.
“Aku suka dengan semua keindahan yang disuguhkan di tempat ini. Terutama air terjun itu. Juga bebatuan. Angin yang berdesir menyelinap masuk ke rongga telinga. Dan semuanya. Mereka bersatu padu menghipnotisku untuk menghilangkan segala penat dan mengangkat beban hidup. Mereka juga menjadi pemicu pintu memori di kepalaku terbuka sehingga rekaman indah dulu dapat aku rasakan. Tempat ini sungguh benar-benar indah!” Aku berusaha mengungkapkan detail keindahan tempat ini kepada ayah.
“Jadi itu yang menjadikanmu sering datang ke sini?”
“Ya.” Jawabku pelan.

Ayah tersenyum. Ia berjalan-jalan mencelupkan kakinya ke dalam air hingga celananya basah sampai lutut. Menghentikan langkahnya tepat di atas batu yang menjadikannya ia berdiri dengan mata kaki segaris dengan permukaan air. Ia tidak berucap apa-apa. Lalu kembali berjalan-jalan seperti sebelumnya dan mendekat kepadaku.
“Kamu yakin tempat ini benar-benar indah?”
Aku cuma mengangguk.

“Benarkah air terjun itu indah? Benarkah air terjun yang membuatmu merasa tenang?” Aku terdiam. Tiba-tiba ia mengulurkan tangan kirinya dan memegang tangan kananku. Lalu menuntunku mencelupkan kaki ke dalam air dan masuk menembus air terjun. Pakaianku basah kuyup. Aku kedinginan. Tapi ayah tidak memperdulikanku. Ia justru mengajak dan menuntun jemariku merengkuh paku-pakuan dan duduk di atas batu besar dekat air terjun. Ia mengambil dan membuka tas di punggungnya. Lalu ia memintaku ganti baju di cekungan belakang air terjun.

Jendela kulit di seluruh permukaan tubuhku menutup diri. Menyekap panas dan membiarkan ia menyebar ke seluruh tubuh. Mencipta kesetimbangan termis. Aku sudah tidak kedinginan dan kembali duduk bersamanya di atas batu seperti sebelumnya. Aku merebahkan tubuhku di dadanya. Dan ia membelai lembut gerai rambut panjangku.
“Sayang...jangan pernah tertipu dengan berkeyakinan bahwa tempat ini yang memberikan keindahan dan mampu menenteramkan hatimu.” Aku hanya diam mendengar untaian kata-kata dari lisannya sambil terus menikmati keindahan di depan mata.

“Sejatinya kesejukan yang kamu rasakan, keindahan yang menenangkan, bukanlah berasal dari tempat ini. Jangan pernah tertipu dengan membuat simpulan seperti itu. Kamu tahu kenapa aku mengajakmu berdiri di bawah air terjun hingga kamu basah kuyup kedinginan dan aku tidak peduli? Kenapa aku menuntun jemarimu merengkuh paku-pakuan dan duduk di atas batu besar itu? Agar kamu tahu, bukan itu yang membuatmu merasa tenang dan damai.” Aku tidak mengerti kenapa ia berkata seperti itu dan apa tujuannnya.

“Kebanyakan manusia merasa bahwa tempat-tempat indah adalah sebab ia beroleh ketenangan, ketenteraman, dan kesenangan. Hakikatnya bukan! Bukan itu yang mencipta semua rasa itu. Aku takut jika kamu juga seperti mereka. Menjadikan tempat ini sebagai tempat mencurahkan segala rasa dengan terus tenggelam dalam memori silam. Larut dalam kenangan dengan menghadirkan wajah ayahmu di sini.”
“Lalu?” Tanyaku meminta ia melanjutkan.
“Mereka sengaja meluangkan waktu pergi ke tempat-tempat wisata berharap ia akan mendapatkan ketenangan, kedamaian, ketenteraman, kepuasan, dan semua rasa yang merujuk pada kebahagiaan. Berharap semua penat pecah tergilas keindahan. Tapi ketika semua mereka dapatkan apa yang mereka rasakan? Mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan, tapi sedikit, bahkan sangat sedikit. Sisanya adalah kepenatan seperti saat sebelum mereka datang.” Ayah terus berkata-kata. Jemarinya terus membelai lembut setiap helai rambutku hingga berujung di bahu.

“Itu kenapa aku mengajakmu berdiri di bawah air terjun, menjamah tetumbuhan, dan merasakan sentuhan permukaan bebatuan, yang kamu anggap mampu menghipnotismu. Semua itu agar kamu merasakan bahwa sejatinya bukan mereka yang menghipnotismu sehingga beroleh kebahagiaan. Tapi yang mampu menyuguhkan kebahagiaan semata-mata hanyalah celupan kasih sayang Allah kepada hamba-Nya. Dan kamu bisa melakukan itu di mana pun dan kapan pun.” Entah kenapa hatiku terenyuh mendengar bait-bait nasihatnya. Mataku pun berkaca-kaca. Lagi aku merasa tidak percaya kalau ia bisa melantunkan hikmah seperti itu. Aku merasa itu adalah suara ayahku. Maka air mata pun menetes membasahi pipi disambut dengan sentuhan jemari mengusap lembut.

“Sayang...pahamilah itu. Keindahan pada hakikatnya adalah celupan kasih sayang Allah kepada setiap hamba-Nya. Ia menghadirkan cinta dan kasih sayang-Nya dengan panorama yang menenteramkan hati. Irama suara alam penyejuk jiwa. Dan semuanya. Tidak terkecuali paras cantikmu ini.” Ia mengatakan paras cantik dengan mencubit sebilah pipiku. Aku tersipu malu. Aku bersyukur mempunyai suami sepertinya. Aku selalu manja di depannya. Aku selalu ingin memanggilnya “Mas.” Tapi kami sudah bersepakat jika dikaruniai putera maka mulai saat itu aku harus memanggilnya "Ayah." Dan hari ini ia membuktikan bahwa ia bisa menjadi "Ayah", seperti ayahku. Bijak dalam berucap dan sarat hikmah.

Aku mengerti. Hakikat keindahan adalah celupan kasih sayang Allah kepada setiap hamba-Nya. Lalu kami beranjak dari batu besar. Deru air terjun terasa semakin menjauh. Kami berjalan mesra bergandengan menyusuri air, kerikil, dan bebatuan.
Read more

Rabu, 12 November 2008

Kekuatan Tersembunyi

Kekuatan Tersembunyi

Pesawat take off dari landasan dan meluncur dengan sangat cepat 150 knot. Bermanuver mematahkan sendi-sendi awan. Menabrak partikel-partikel udara dan membuat garis lurus di wajah angkasa dengan ekor koloidnya. Lalu menukik tajam selaksa élang menerkam mangsa. Atau selaksa cinta yang terbakar di mata jatuh ke hati. Keanggunan desain aerodinamis yang kagum menggetarkan.
Pada ketinggian 2.000 meter sekepal materi terlepas dari perut pesawat. Jatuh bebas tertarik cepat oleh gravitasi menuju pusat bumi.

“Duarr!!” ledakan keras terjadi saat kepalan materi menghantam permukaan bumi. Uranium terfragmentasi oleh netron-netron yang membombardir tubuhnya. Netron-netron yang terlempar keluar dari inti pertama yang pecah menabrak inti lain dan memecahnya pula. Reaksi berantai pun berlangsung dalam waktu sepersejuta detik dan menghasilkan energi seribu milyar kilo kalori. Bom menjelma menjadi gas, dan temperaturnya meningkat menjadi beberapa juta derajat dan tekanannya meroket menjadi satu juta atmosfer.

Hirosima dan Nagasaki hancur dalam sekejap. Penduduk sipil pun tidak sempat menutup mata apalagi menghela nafas mencium aroma oksigen. Binatang melata pencegah kemurkaan Tuhan pagi itu menghentikan tugasnya. Mati. Mati dalam hitungan sepersekian detik. Yang tersisa hanyalah radiasi initial flash yang terus berlari pada radius puluhan kilometer dari ledakan dengan kecepatan 200.000 km/detik. Praktis mereka yang berada pada jarak itu mengalami kerusakan permanen pada indra penglihatan. 


Bumi berguncang oleh tekanan ledakan. Disusul gelombang kejut yang terus menyebar sepanjang permukaan bumi layaknya ular ganas memburu seekor tikus karena lapar. Menara, jembatan, dan gedung-gedung tinggi yang dibangun dari baja-baja rusak. Lalu sekumpulan debu halus membumbung. Disertai letupan udara yang sedang bereposisi. Kumpulan debu berkilat dan udara di sekitar membentuk bola api. Radiasi panas yang dipancarkan masih sangat panas dan berpendar seperti matahari. Bahkan sangat mudah membakar zat-zat yang mudah terbakar meskipun berada pada radius 4-5 km. Lambat laun bola api mendingin dan volumenya mengecil. Karena lebih ringan dari udara, bola api itu mulai merayap naik perlahan. Dan menjelma seperti jamur. Sebuah pemandangan yang tidak bisa dilupakan bagi siapa saja yang menyaksikan. 


“Aku tidak tahu kepada siapa aku harus meminta maaf. Aku tidak menyangka akan seperti ini.” Pilot pesawat shock. Mengalami kedukaan terdalam. Fitrah sebagai manusia mucul seketika. Perasaan bersalah membunuh jiwa mengapung. Ketaatan pada pemimpin dirasa telah menjebaknya menjadi manusia paling kejam di dunia. Membunuh ribuan nyawa. Menghancurkan peradaban kota. Menjadikan dunia gelap terlelap kebiadaban nafsu membalas dendam.
Mayat berserak hangus terbakar. Bahkan di pusat ledakkan tidak tersisa sama sekali kecuali hanya nama. Nama yang selalu menemani sepanjang hidup. Yang terungkap setelah kota seberang hilang. Hilang oleh sekepal materi uranium yang terganggu entitasnya.


***

Tidak terduga sebelumnya. Melewati perkiraan orang-orang. Menghancurkan logika orang awam. Menghempaskan tuduhan gila bagi pencetusnya. Begitulah yang terjadi. Semua mata memandang ke titik di dunia dalam peta. Asia Timur. Setelah peristiwa pengeboman kedua kota tersebut.

Peristiwa mencengangkan dan paling menggetarkan sepanjang peradaban kehidupan manusia. Bagaimana tidak? Logika siapa yang bisa menerima jika ternyata uranium yang hanya sekepal tangan bisa meluluhlantakkan dua kota dalam sekejap?! Sangat sulit diterima oleh akal pada awalnya. Hingga layak mendapat predikat gila bagi sang pemilik ide. Tapi sejarah telah membuktikan. Uranium yang diusik aktivitas partikel intinya akan menyebabkan kestabilannya terganggu. Sehingga inti akan bereaksi untuk mempertahankan keadaan awal. Menghasilkan energi yang berlipat-lipat. Hanya dalam sepersekian detik mampu menghasilkan energi hingga ribuan milyar kalori.


Itu adalah kekuatan tersembunyi yang dimiliki oleh sebuah atom uranium di dalam inti. Yang hanya akan keluar manakala kestabilannya terusik. Lalu bagaimana dengan kita? Bukankah manusia sebaik-baik makhluk ciptaan Allah? Bukankah inti uranium hanyalah sebuah materi mati yang berukuran sangat kecil? Bisakah kita menemukan kekuatan tersembunyi dalam diri kemudian meledakkannya?! Bisa. Kita semua bisa. Tapi hanya beberapa yang mau dan telah membuktikannya. Sebagian besar manusia enggan untuk menggali kekuatan tersembunyi dalam diri. Tidak tahu cara menemukannya. Kadang sudah tahu tapi tidak tahu bagaimana mengembangkan dan mengarahkan menjadi prestasi puncak dalam hidupnya. Apa penyebabnya?!

Aktivitas rutin seringkali menjadi mesin pembunuh kekuatan tersembunyi. Pagi berangkat sekolah atau kerja. Sore istirahat. Malam bercengkerama dengan keluarga. Akhir pekan ke luar kota. Begitu seterusnya. Tanpa terasa umur sudah separuh baya. Kesempatan membuat prasasti dengan mengukir prestasi di sepenggal sisa hidup dirasa terlambat. Akhirnya tanpa sadar memilih untuk menjadi manusia biasa. Biasa seperti seperti pada umumnya. Biasa saja.


Atau waktu luang. Menyenangkan dan melenakan raga berpaling dari tujuan. Berkata nanti. Nanti akan saya kerjakan. Setelah kisah sendu di mataku berakhir. Ketika hati ini ceria lagi karena aku butuh hiburan. Termanja-manja di depan sinema berkelanjutan. Terpasung pasif tanpa ada investasi sedikit pun dari waktu yang terbuang.


Hentikan kawan! Mungkin kita butuh teman yang mengatakan itu. Mengingatkan kita untuk berhenti dari kebiasaan harian tanpa arah dan arahan. Mengajari kita untuk belajar mendengar dan mendengarkan. Sebab kita bisa mendengar tapi belum tentu mampu mendengarkan. Mendengarkan adalah aktivitas menyengaja untuk mendengar. Sedangkan mendengar kita bisa melakukan kapan saja karena tidak perlu menyengaja melakukannya. Mendengar dan mendengarkan bisikan kata-kata hati. Mendengar dan mendengarkan desah potensi yang mulai tumbuh bersemi dalam diri. Lalu mengarahkannya menjadi ledakkan prestasi yang dahsyat!


Kita butuh mereka yang mau dan peduli membantu kita untuk tersadar dan membangunkan kekuatan tersembunyi yang telah lama tertidur dalam diri kita. Dalam kekuatan fisik yang kita punya. Kejeniusan otak yang mahal harganya. Keanggunan akhlak penakluk keangkuhan seseorang. Dan sederet talenta yang dengan itu orang lain akan melayangkan pujian kepada kita. Mengagumi bahkan mengidolakan hingga terdengar jeritan histeris saat kita menyapa.


Mereka yang peduli kepada kita adalah laksana pemicu yang menjadikan atom kecil meledak dan menghasilkan energi berlipat-lipat. Menghancurkan kesombongan peradaban dan keangkuhan bangunan yang berdiri kokoh. Memanggil dan menyita perhatian dunia. Tapi apa jadinya jika ternyata tidak ada yang peduli dengan talenta yang kita punya? Sehingga kita tidak pernah tahu kalau kita sebenarnya berbakat dalam suatu bidang dan expert?!
Jangan berkecil hati. Saat tidak ada orang yang memperhatikan kita. Saat tidak ada yang mau membantu menemukan dan mengembangkan kekuatan tersembunyi dalam diri. Justru saat itulah peluang terbesar yang kita miliki. Bukankah banyak pahlawan yang lahir justru karena keadaan yang memaksanya untuk menjadi pahlawan?! Bukankah banyak karya besar yang lahir di balik teralis besi penjara?! Bukankah sangat banyak di antara mereka, orang-orang besar lahir dalam keterbatasan?! Mereka mampu menjadi pahlawan dan mencipta karya besar justru dipicu oleh keterbatasan. Keterbatasan materi, fisik, bahkan kemampuan.


Setiap kita punya kekuatan tersembunyi. Kita hanya butuh pemicu. Pemicu untuk meledakkannya dan menyita perhatian dunia.[]

Semarang, 11 November 2008
10.08 AM
Read more

Kamis, 07 Agustus 2008

Ruang Hati

Ruang Hati

Lalu jiwa pagi basah. Tersiram pecahan kristal puisi burung penari. Terkurung terpantul-pantul di kanal telinga. Menggetarkan selaput. Tersapu tulang ke tingkap jorong. Meluncur meliuk-liuk di rumah siput dan tenggelam di dalam cairan. Bermetamorfosis menjadi sinyal-sinyal elektrik. Bergerak secepat kilat menembus ruang gelap serebrum. Mencipta persepsi. Dan aku mendengar kicau riang di pucuk-pucuk ranting. Menggema di celah-celah rongga udara. Membangunkan setiap jiwa culas tertidur berselimut urine setan.

Mentari pun perlahan terus menghujani bumi dengan partikel foton. Buah dari reaksi fusi dengan panas hingga 14 juta derajat celcius. Penggabungan rasa cinta hidrogen menjadi helium. Menyebarkan gelombang tampak. Sehingga mata mampu menyingkap materi. Hilang sudah gelap. Gelap di bumi. Gelap di hati. Lalu aku berjalan memanjakan raga. Menghirup udara segar. Mengucap syukur. Meyunggingkan senyum. Mengulum sapa. Mencipta tekad untuk memulai hari penuh semangat.

Sesuap waktu berlalu. Tak terasa surya sudah setinggi tombak. Tiba saatnya membeli tiket istana surga yang dikelilingi peri bermata jeli. Shalat dluha. Membangun istana setahap demi setahap. Rakaat demi rakaat. Setiap pagi setiap hari.
“Masjid yang indah!” Gumamku dalam hati saat aku berdiri di depannya. Meski bukan kali pertama aku melihat. Tapi tetap megah terkesan. Kokoh berdiri mendekap ruang tiga lantai. Sayap kanan kiri berhiaskan ornamen gaya khas tradisi masa silam. Tepat di depan pintu melekat ukiran kaligrafi yang setia menyambut siapa saja yang menapakkan kaki di altar suci. Untuk memenuhi panggilan Ilahi, mengkaji ilmu agama, atau hanya sekadar melepas lelah karena tamparan keras terik mentari siang hari.

Wajah dan mahkota kepalaku basah terbasuh air wudlu. Lalu melangkah setenang jiwa yang tercelup cahaya Ilahiah. Ku pijakkan kaki ke tangga setingkat-tingkat. Membuka pintu rakhmat. Menabur sua dengan sang pencipta. Namun belum sempat melayangkan takbir pembuka, hatiku tersedu. Rintihan jiwa sesal terdengar jelas di kanal telinga. Suara tangis merapatkan udara ruang lantai dua.
“Subhanallah…” pujiku.
“Awal yang indah bagi siapa saja yang menyesal atas dosa. Menghiba, meratap, meminta maaf, mengakui salah. Dan berjanji tidak akan mengulang kali kedua.” kataku dalam hati lantaran tangis dari lantai tiga tempat shalat putri, terdengar demikian jelas. Yang memaksaku membuat kesimpulan betapa bahagia setiap jiwa yang bertaubat.

Kulayangkan takbir pembuka. Meresapi ayat demi ayat. Tenggelam dalam magma dingin. Membuka tabir dan memecahkan dinding penghalang. Berselancar menuju dimensi spiritualitas tanpa batas. Alam rububiyah. Raga bergetar setiap kali otak menangkap makna bibir berucap. Sejuk mengalir dari palung hati hingga kulit ari. Lalu terasa seringan awan. Melayang.

“Assalamualaikum warahmatullah…” usai shalatku.
Isak tangis kembali menggetarkan selaput telingaku. Kali ini ada yang janggal. Aku semakin tidak yakin. Ragu dengan kesimpulan awalku. Sesekali meluap kata tolong. Tapi aku tetap duduk. Melantunkan dzikir. Tapi tetap tidak bisa menikmati setiap lantunan puji dari lisanku karena isak tangis kian keras menggedor-gedor telinga bahkan jiwaku. Aku semakin penasaran. Khawatir. Bertanya-tanya apa yang terjadi di lantai tiga? Apa yang menyebabkan seseorang yang tidak aku tahu itu terus menangis? Lalu tanpa pikir panjang aku segera beranjak dari tempat simpuh. Meluncur ke lantai satu. Sebab lantai tiga hanya bisa diakses dari lantai satu. Dan hanya ada satu tangga. Aku berlari ke tangga yang menuju lantai tiga. Namun langkahku terhenti saat mencapai setengah tangga. Seekor ular kecil sedang asyik melilitkan badannya di bibir tangga. Menjulur-julurkan lidahnya. Terus merayap ke atas. Sedang di ujung tangga tampak anak puteri meringkuk ketakutan menangis terisak-isak. Aku pun kebingungan. Tapi syukurlah tepat ketika aku akan pergi mencari pertolongan, dua orang takmir masjid datang. Masing-masing membawa tongkat. Lalu mereka menyingkirkan ular kecil itu dan anak puteri tersebut berlalu turun tangga sembari mengucap terima kasih.

Lalu aku termenung. Kenapa ia begitu takut? Kenapa ia harus menangis? Bukankah itu hanya seekor ular kecil? Dan saya yakin bahwa hari itu bukan kali pertama ia melihat ular! Terlalu mengada-ada memang, kalau hal seperti itu dipikirkan. Tapi aku berkeyakinan bahwa setiap peristiwa dalam rentang waktu pasti ada sesuatu yang bisa dipetik hikmahnya.
Aku berhipotesa, bahwa yang menyebabkan anak puteri itu takut bukan karena ular semata. Tapi karena ia berada di ruang yang relatif sempit dan tidak ada jalan lain yang bisa dilalui agar terhindar dari gangguan ular. Ya, saya kira itulah penyebab utamanya. Sebab seandainya ia berada di luar masjid pasti ia tidak akan takut. Apalagi harus menangis. Sebab ia bisa segera menghindar dan lari.
Aku memetik hikmah. Buah dari pohon peristiwa dalam rentang waktu sesaat. Aku basah oleh sastra kehidupan. Aku senang sebab aku menemukan analogi ruang hati. Ya, ruang hati. Sebuah gumpalan darah yang menyimpan kedalaman jiwa. Yang tersembunyi dan tak tersentuh panca indera. Tempat setiap urusan manusia. Semua tersimpan di sana.

Ruang hati. Yang jika senang ia akan berhiaskan bunga-bunga, berpayung pelangi, berlantaikan permadani, beraroma kasturi, dan berselimutkan kehangatan. Tapi jika sedih ia dipayungi awan gelap hitam, berasa masam, beralas duri, dan berdekap dingin. Begitulah kira-kira. Semua tergantung pada suasana hati. Seberapa bahagiakah hati, itu yang akan menentukan seberapa bahagia raga yang membungkusnya.

Lalu apa yang menentukan kebahagiaan hati? Banyak. Salah satunya adalah seberapa besar volume ruang hati seseorang. Semakin besar ukuran volumenya, maka akan semakin besar peluang ia merasakan kebahagiaan. Mengapa? Karena ruang hati yang besar akan menjadikan setiap masalah yang tersimpan di dalamnya relatif lebih kecil. Sedangkan hati yang sempit akan menjadikan setiap masalah akan tampak relatif besar. Seperti kisah anak puteri tadi. Ia takut sebenarnya bukan semata karena ular kecil yang menghadang langkah kakinya. Tapi juga karena ruang tempat ia berada relatif kecil. Maka itu jika kita menginginkan kebahagiaan. Kita bisa mulai dengan belajar memiliki hati yang lapang, sehingga masalah sebesar apapun akan menjadi kecil.

Ruang hati. Beruntunglah orang yang memiliki ruang hati yang besar. Sebab ia tidak mempunyai rasa negatif kepada orang lain. Benci, iri, cemburu, atau dendam. Bagaimana ia bisa membenci? Sedang ia tidak mempunyai alasan untuk membenci. Bagaimana ia bisa iri dan cemburu? Sementara keinginan itu sangatah kecil dan tersimpan jauh di sudut hati. Bagaimana ia punya keinginan membalas dendam? Sebab ia tidak pernah merasa tersakiti. Begitulah ruang hati. Semakin besar, akan semakin mudah kita bisa bahagia. Semoga.

Semarang, 7 Agustus 2008
4:09 PM
Read more

Senin, 16 Juni 2008

Kapal Idealita

Kapal Idealita

Gadis kecil tersebut tetap menangis. Sebagian penumpang kapal menghampiri penuh kesal. Mencoba menghentikan tangisnya tapi nihil. Sia-sia. Tangisnya mengudara beresonansi dengan kemurkaan badai, sambaran petir, dan ombak besar yang terus-menerus menghantam badan kapal. Lalu perlahan semua orang pun meninggalkannya.

Cuaca di angkasa semakin buruk dan menakutkan. Angin kencang yang terus bertiup sesekali hampir membalikkan posisi kapal. Gelap malam pun mulai menunjukkan karakternya. Udara dingin seakan meremukkan tulang para penumpang.

Nahkoda kapal panik. Dan semakin resah saat melihat gadis kecil gaun merah bersikukuh duduk memeluk erat kedua lututnya. Menangis.
“Gadis kecil, cukupkan tangismu!” pinta sang nahkoda. Tapi tak ada respon.
“Hentikan tangismu gadis kecil!” kembali orang tua tersebut mencoba mendiamkannya. Kali ini dengan nada sedikit keras. Tapi tetap sama.
Langit di atas kapal gelap seram. Bahkan hujan terun sangat lebat disertai kilatan petir yang menyambar-nyambar sisi atap kapal. Sang nahkoda mencoba membujuk agar ia masuk kamar. Tapi ia menolak. Ia tetap duduk di kursi kecil yang dipayungi kain biru parasit melingkar. Tiba-tiba tampak bayangan besar mengahampiri gadis rambut acak diterpa angin.
“sini, biar aku yang tangani!” pinta orang aneh itu dengan nada keras membentak.
Dan nahkoda pun berlalu meninggalkannya penuh khawatir. Sebab di kedua tangan orang tersebut ada gulungan tali besar dan potongan-potongan tali pendek. Ia hanya bisa berharap semoga tidak terjadi apa-apa pada gadis tersebut.


Sesaat kemudian orang tak dikenal itu mengikat kedua kaki dan tangan gadis tersebut. Gadis itu pun berontak. Berteriak meronta-ronta. Tapi percuma karena terlalu kuat cengkeramannya. Lalu dibawanya gadis tersebut ke tepi kapal. Gadis tersebut berontak dan terus meronta lagi, tapi percuma.
“Aaa........!” terdengar jeritan histeris.


Namun tidak ada penumpang yang mendengarnya sama sekali, karena hujan sangat lebat. Kilatan petir menerkam suara jeritan. Badai kian keras mengahantam. Langit tak terlihat kecuali hanya pekat dan gelap. Kapal terus teromabang-ambing tidak karuan. Ternyata jeritan itu berasal dari mulut gadis itu. Orang aneh itu telah melemparnya jatuh dari kapal.
Selang beberapa detik orang aneh itu menariknya lagi ke kapal. Basah kuyup. Menggigil kedinginan. Tampak pucat wajahnya. Tapi sungguh mengherankan, dibalik wajah pucatnya tersirat musnahnya kegelisahan, kekhawatiran, dan ketakutan.


“Aku sadar, aku tahu, aku mengerti.” kesah sang gadis dengan sisa-sisa suaranya sebelum akhirnya pingsan. Lalu orang aneh itu pun membawanya ke tempat rujukan.

***

Kita sering bersedih dan larut dalam kegelisahan lantaran permasalahan yang memuramkan keadaan. Merasa berat dan tidak mungkin kemelut akan hanyut bermuara pada keceriaan. Tidak ada harapan kecuali kehampaan. Kapal kehidupan yang kita naiki seakan telah hancur berkeping-keping diterpa badai dan gelombang. Idealitas kita pun kandas. Gagal dan gagal lagi. Kegembiraan sirna tertelan duka. Dan entah kapan ia akan ditemukan. Rasanya ingin lari saja dari kenyataan. Terus bersedih dan tercelup larut di dalamnya. Orang lain dirasa begitu enaknya mengapungkan tawa. Sedangkan diri seperti dalam neraka. Bahkan tidak jarang yang kemudian memutus nadi sebagai nada solusi dikira.
Lalu harus bagaimana? Pemahaman akan tabiat hidup memang harus dikuasi. Itu yang akan membantu meringankan langkah. Membangkitkan semangat dalam menapaki terjalnya hidup dan cita-cita. Hal itu juga yang senantiasa memberi energi baru untuk tetap berrdiri dari keterpurukan dan rasa putus asa. Cuma mungkin untuk mendapatkan pemahaman itu yang kadang menjadi masalah. Biasanya kita hanya punya sedikit ilmu dan wawasan, sehingga picik dalam cara berpikir. Kerdil dalam mengambil sikap dan tindakan, karena miskin pengalaman. Atau mungkin kita mengabaikan nasihat bijak kehidupan.


Jika pemahaman tabiat hidup tidak juga didapati maka kita mungkin perlu diperlakukan seperti gadis kecil itu. Yang terus-menerus menangis takut lantaran terkaman badai, hantaman gelombang, dan teriakan petir. Dia sangat khawatir akan keselamatan dirinya. Ia merasa cuma ia yang merasakan ketakutan itu, meski seluruh penumpang pun merasakan hal yang sama. Kalut dan takut. Namun setelah dilempar ke laut, ia diam. Berhenti dari tangisnya dan berkata: “Aku sadar, aku tahu, aku mengerti.” Ia sadar dan mengerti bahwa keadaan saat ia di atas kapal terasa lebih nyaman dan belum apa-apa jika dibandingkan dengan keadaan di dalam lautan.


Mungkin kita perlu dihadapkan pada permasalah yang lebih berat dan sulit. Hingga tersudut pada pengambilan sikap dan keputusan yang membingungkan. Atau mungkin kita perlu disekap tanpa materi yang bisa dimanfaatkan. Atau mungkin kita harus menjadi orang miskin, biar merasakan segala penderitaan yang didekapnya setiap hari. Agar kita menjadi sadar, tahu, dan mengerti. Tapi akan lebih baik jika semua itu tidak perlu. Karena semua itu kembali pada diri kita. Bagaimana kita harus bersikap terhadap apa yang menimpa kita. Itulah yang perlu kita pikirkan. Apakah kita akan bersedih dan terus menyesal? Apakah kita akan bersikap positif karena semua itu mengandung pelajaran yang harus diambil? Tentu sikap kedua yang harus kita pilih. Maka itu tidak pantas jika kita terus bersedih dan larut di dalamnya. Karena begitulah tabiat kehidupan.


Begitulah tabiat hidup. Tidak selamanya keceriaan akan menemani kita dengan candanya. Tidak selalu jalan hidup lurus, datar, dan berlantaikan permadani. Namun tak perlu berkecil hati, karena di dunia tidak ada yang abadi. Tidak terkecuali kegagalan dan kehancuran yang menjadi sumber kehidupan. Kapal idealita kita harus tetap berjalan, melaju, menerjang badai dan gelombang.[]


Semarang, 28 Mei 2008
10:11 AM
Read more

Senin, 28 April 2008

Daun Pisang

Daun Pisang

Gelap pekat, hitam, senyap. Meski baru pukul delapan malam. Jalan setapak terpaksa ia lalui sendiri. Agar cepat tiba di rumah. Pekerjaan seabrek sudah menanti. Harus segera selesai malam itu juga.
Tenang ia berjalan. Menikmati panorama samar kebun pisang. Sesekali menyanyi untuk menghilangkan rasa takut. Namun tiba-tiba mulutnya bisu. Langkah kakinya terhenti. Matanya menyisir ilalang dan semak-semak. Kaget dan terkejut. Bayangan hitam melambai tertangkap jelas di retina mata. Spontan badannya menggigil ketakutan. Membalikkan badan dan kabur.

“Hantuuu…!!!” Ia teriak berlari. Terpeleset jatuh. Bangun dan terus berlari. Sempoyongan dan...
“Brak!” menabrak melekat pada sebatang pohon, pikirnya. Kepalanya merunduk. Matanya terpejam. Perlahan-lahan ia membuka kelopak mata dan mendongakan kepala dengan perasaan takut. Ternyata yang ada di depannya itu temannya, yang kebetulan juga mau ke rumahnya.

“Ada apa?” Tanya temannya.
“Ha, hantu, ada hantu di sana!” Jawabnya terbata-bata.
“Akh…kamu ngaco! Mana ada hantu jam segini! Lagian aku sudah sering lewat sini. Nggak pernah melihat yang namanya hantu tuh! Kamu salah lihat kalee…? Temannya menenangkan.
“Bener, aku nggak bohong. Aku nggak salah lihat!” Ia menyangga meyakinkan.
“Udah dech! Mendingan kita buktikan. Kita jalan bareng. Kalau memang bener ada hantu, berarti kamu nggak bohong. Oke?! Temannya membujuk dan ia pun mengangguk.


Keduanya berjalan meniti jalan setapak tersebut. Di kanan kirinya tidak ada rumah penduduk. Yang ada hanyalah ilalang, pepohonan, serta nyanyian binatang malam. Jalan tersebut memang jarang dilewati orang. Kecuali petani yang kebetulan mau mengairi sawah. Gelap. Sepi. Hanya sedikit pantulan remang rembulan awal bulan yang tertutup awan. Yang belum sempat mencium permukaan bumi sudah tersapu dedaunan dan reranting pohon.


“Ha, han…!” Kembali ia mencoba teriak. Tapi….
“Cep!” Tiba-tiba kelima jari temannya sudah menempel tepat di mulutnya.
“Sekarang, coba tunjukan padaku, mana han-tu-nya! Pinta temannya dengan nada berbisik perlahan mengeja.
Ia membuka jari telunjuknya dan mengangkat tangan kanannya. Ia menunjuk pada ujung sebatang pohon yang berjarak kira-kira limabelas meter dari tempat mereka berdiri.
“Ha…ha...ha…ha…ha…! Temannya tertawa sambil mencubit sebelah pipinya.
“Itu kan cuma daun pisang! Dasar penakut! Katrok! Ndeso! Ndesoo…! Temannya mengejek layaknya host nge-trend yang dibayar lebih dari limapuluh juta untuk sekali tayang.
Tapi ia juga belum percaya. Akhirnya ia diajak untuk melihat lebih dekat lagi daun yang dikira hantu. Baru ia percaya dan malu.
“Ternyata cuma daun pisang ya?” ia sadar.
“Cape deech…!”


Keduanya tersenyum, lalu terus berjalan memanjakan telinga dengan nyanyian binatang malam diiringi musik desiran angin berbisik.

***


Rasa takut kian kerap kali menghinggap. Memotong berani dalam hati. Memaksa seluruh panca indera terbebas lepas landas tanpa logika. Anggota tubuh kolega jiwa pergi tanpa tahta. Otak pun tertutupi takut, kalut, dan sederet kata representasi lemahnya menguasai diri. Meski ditampakkan jelas, di ujung mata hanyalah seonggok materi namun tetap sama. Tidak berubah sedikit pun apa yang sudah dicerna oleh persepsi. Yang tampak adalah hantu.


Seanggun hidup memang penuh warna. Tapi tidak semua bisa dihirup kecuali hanya sekadar sesaat menghela nafas manja. Atau sebab pilihan utama tidak bisa didapati. Lalu yang muncul adalah trauma. Takut bakalan terjadi kali kedua. Atau bahkan justru kita yang menghidupkan hantu tersebut tanpa sengaja. Lewat audiovisual misteri. Kertas-kertas paranoid. Ungkapan puisi lara. Lagu-lagu sendu sayu palsu. Atau lainnya.


Hantu bisa bersumber dari apa saja. Diri dan orang lain. Jauh dan di sekeliling. Tapi yang sering adalah diri kita sendiri. Ketidakmampuan membuat value yang tepat tentang diri. Kacamata persepsi yang tidak begitu jelas, tegas, dan cerdas. Melahirkan under estimate. Rasa percaya diri meredup. Potensi diri terhalang. Praktis orang lain menjadi lebih layak menjadi pahlawan. Penerang bagi kegelapan. Meski sebenarnya justru diri kita yang lebih berhak menyalakan pelita. Untuk membunuh hantu tersebut. Bukan orang lain.


Kompetisi kejuaraan di gelar di mana ada. Tingkat akar rumput bahkan pohon rindang. Sayang tapi. Semua lewat sekejap tanpa ada sedikit kontribusi. Apalagi partisipasi. Orang lain lagi yang merasa mengecapnya. Lalu kita pun akan tersenyum biasa saja. Sembari mencari kata pemaaf diri sebanyaknya. Atau kita pilih cuek saja.


Tapi ada yang menarik. Andai saja kita mau sedikit membuka mata. Melebarkan telinga. Mengkonsumsi media yang bermakna. Lebih jeli sedikit saja. Menyalakan nyali sekuncup cuma. Karena semua manusia tercipta sama. Sama dengan kelebihan dan kekurangannya. Maka perlahan akan tampak. Sedikit mulai tersingkap. Siapa sebenarnya kita. Siapa sebenarnya hantu itu. Karena ternyata dia hanya selembar daun pisang yang melambai di kegelapan pikiran dan hati. Saat itu baru kemudian bibir menyunggingkan senyum. Malu. Merasa cupu. Saat itu juga muncul kebebasan rasa. Bangga. Semua tanpa terpikir sebelumnya.


Hantu adalah semua kosa kata yang menjelaskan sebab perasaan takut mencakup. Ia bisa diri kita, keinginan, rasa, atau pencapaian yang tertunda. Bisa juga ia teman kita. Teman akrab kita. Atau dia sama sekali orang lain yang belum pernah kita kenal sebelumnya.


Namun yang pasti kita akan tahu bahwa hantu itu hanyalah daun pisang setelah kita berani memberikan sedikit waktu otak untuk berpikir. Memberikan jiwa berselancar. Meluangkan hati berbicara jujur. Membebaskan keinginan untuk belajar serta mencoba, mencoba, dan mencoba lagi. Mendekat dan menyentuhnya. Baru kita tahu. Hantu yang kita takuti hanyalah daun. Daun pisang.[]

Semarang, 23 January 2008
9:15 PM
Read more