Senin, 28 April 2008

Daun Pisang

Daun Pisang

Gelap pekat, hitam, senyap. Meski baru pukul delapan malam. Jalan setapak terpaksa ia lalui sendiri. Agar cepat tiba di rumah. Pekerjaan seabrek sudah menanti. Harus segera selesai malam itu juga.
Tenang ia berjalan. Menikmati panorama samar kebun pisang. Sesekali menyanyi untuk menghilangkan rasa takut. Namun tiba-tiba mulutnya bisu. Langkah kakinya terhenti. Matanya menyisir ilalang dan semak-semak. Kaget dan terkejut. Bayangan hitam melambai tertangkap jelas di retina mata. Spontan badannya menggigil ketakutan. Membalikkan badan dan kabur.

“Hantuuu…!!!” Ia teriak berlari. Terpeleset jatuh. Bangun dan terus berlari. Sempoyongan dan...
“Brak!” menabrak melekat pada sebatang pohon, pikirnya. Kepalanya merunduk. Matanya terpejam. Perlahan-lahan ia membuka kelopak mata dan mendongakan kepala dengan perasaan takut. Ternyata yang ada di depannya itu temannya, yang kebetulan juga mau ke rumahnya.

“Ada apa?” Tanya temannya.
“Ha, hantu, ada hantu di sana!” Jawabnya terbata-bata.
“Akh…kamu ngaco! Mana ada hantu jam segini! Lagian aku sudah sering lewat sini. Nggak pernah melihat yang namanya hantu tuh! Kamu salah lihat kalee…? Temannya menenangkan.
“Bener, aku nggak bohong. Aku nggak salah lihat!” Ia menyangga meyakinkan.
“Udah dech! Mendingan kita buktikan. Kita jalan bareng. Kalau memang bener ada hantu, berarti kamu nggak bohong. Oke?! Temannya membujuk dan ia pun mengangguk.


Keduanya berjalan meniti jalan setapak tersebut. Di kanan kirinya tidak ada rumah penduduk. Yang ada hanyalah ilalang, pepohonan, serta nyanyian binatang malam. Jalan tersebut memang jarang dilewati orang. Kecuali petani yang kebetulan mau mengairi sawah. Gelap. Sepi. Hanya sedikit pantulan remang rembulan awal bulan yang tertutup awan. Yang belum sempat mencium permukaan bumi sudah tersapu dedaunan dan reranting pohon.


“Ha, han…!” Kembali ia mencoba teriak. Tapi….
“Cep!” Tiba-tiba kelima jari temannya sudah menempel tepat di mulutnya.
“Sekarang, coba tunjukan padaku, mana han-tu-nya! Pinta temannya dengan nada berbisik perlahan mengeja.
Ia membuka jari telunjuknya dan mengangkat tangan kanannya. Ia menunjuk pada ujung sebatang pohon yang berjarak kira-kira limabelas meter dari tempat mereka berdiri.
“Ha…ha...ha…ha…ha…! Temannya tertawa sambil mencubit sebelah pipinya.
“Itu kan cuma daun pisang! Dasar penakut! Katrok! Ndeso! Ndesoo…! Temannya mengejek layaknya host nge-trend yang dibayar lebih dari limapuluh juta untuk sekali tayang.
Tapi ia juga belum percaya. Akhirnya ia diajak untuk melihat lebih dekat lagi daun yang dikira hantu. Baru ia percaya dan malu.
“Ternyata cuma daun pisang ya?” ia sadar.
“Cape deech…!”


Keduanya tersenyum, lalu terus berjalan memanjakan telinga dengan nyanyian binatang malam diiringi musik desiran angin berbisik.

***


Rasa takut kian kerap kali menghinggap. Memotong berani dalam hati. Memaksa seluruh panca indera terbebas lepas landas tanpa logika. Anggota tubuh kolega jiwa pergi tanpa tahta. Otak pun tertutupi takut, kalut, dan sederet kata representasi lemahnya menguasai diri. Meski ditampakkan jelas, di ujung mata hanyalah seonggok materi namun tetap sama. Tidak berubah sedikit pun apa yang sudah dicerna oleh persepsi. Yang tampak adalah hantu.


Seanggun hidup memang penuh warna. Tapi tidak semua bisa dihirup kecuali hanya sekadar sesaat menghela nafas manja. Atau sebab pilihan utama tidak bisa didapati. Lalu yang muncul adalah trauma. Takut bakalan terjadi kali kedua. Atau bahkan justru kita yang menghidupkan hantu tersebut tanpa sengaja. Lewat audiovisual misteri. Kertas-kertas paranoid. Ungkapan puisi lara. Lagu-lagu sendu sayu palsu. Atau lainnya.


Hantu bisa bersumber dari apa saja. Diri dan orang lain. Jauh dan di sekeliling. Tapi yang sering adalah diri kita sendiri. Ketidakmampuan membuat value yang tepat tentang diri. Kacamata persepsi yang tidak begitu jelas, tegas, dan cerdas. Melahirkan under estimate. Rasa percaya diri meredup. Potensi diri terhalang. Praktis orang lain menjadi lebih layak menjadi pahlawan. Penerang bagi kegelapan. Meski sebenarnya justru diri kita yang lebih berhak menyalakan pelita. Untuk membunuh hantu tersebut. Bukan orang lain.


Kompetisi kejuaraan di gelar di mana ada. Tingkat akar rumput bahkan pohon rindang. Sayang tapi. Semua lewat sekejap tanpa ada sedikit kontribusi. Apalagi partisipasi. Orang lain lagi yang merasa mengecapnya. Lalu kita pun akan tersenyum biasa saja. Sembari mencari kata pemaaf diri sebanyaknya. Atau kita pilih cuek saja.


Tapi ada yang menarik. Andai saja kita mau sedikit membuka mata. Melebarkan telinga. Mengkonsumsi media yang bermakna. Lebih jeli sedikit saja. Menyalakan nyali sekuncup cuma. Karena semua manusia tercipta sama. Sama dengan kelebihan dan kekurangannya. Maka perlahan akan tampak. Sedikit mulai tersingkap. Siapa sebenarnya kita. Siapa sebenarnya hantu itu. Karena ternyata dia hanya selembar daun pisang yang melambai di kegelapan pikiran dan hati. Saat itu baru kemudian bibir menyunggingkan senyum. Malu. Merasa cupu. Saat itu juga muncul kebebasan rasa. Bangga. Semua tanpa terpikir sebelumnya.


Hantu adalah semua kosa kata yang menjelaskan sebab perasaan takut mencakup. Ia bisa diri kita, keinginan, rasa, atau pencapaian yang tertunda. Bisa juga ia teman kita. Teman akrab kita. Atau dia sama sekali orang lain yang belum pernah kita kenal sebelumnya.


Namun yang pasti kita akan tahu bahwa hantu itu hanyalah daun pisang setelah kita berani memberikan sedikit waktu otak untuk berpikir. Memberikan jiwa berselancar. Meluangkan hati berbicara jujur. Membebaskan keinginan untuk belajar serta mencoba, mencoba, dan mencoba lagi. Mendekat dan menyentuhnya. Baru kita tahu. Hantu yang kita takuti hanyalah daun. Daun pisang.[]

Semarang, 23 January 2008
9:15 PM
Load disqus comments

1 komentar: