Tersenyum. Mengapungkan tawa ke udara. Menghempaskan rasa sesak dada terpasung jawaban yang tidak pernah terpikir. Lalu awan di langit berkabung seakan-akan. Mencoba membujuk resapan derai angin agar kamu cium dalam-dalam. Setapak jalan, jalan air ketika hujan, memandang resah sembari menaburkan debu dan membasuh mukamu lembut. Pikiranmu galau. Kamu tidak mendengar deru lalu lalang kendaraan saat kamu menyeberang. Yang terdengar hanya bunyi klakson mobil yang menyentak membuyarkan lamunanmu.
“Maaf Pak.” Katamu sembari merunduk. Terlihat ekspresi kesal di balik kaca. Maklum saja karena nyaris kamu tercium H 74 PE yang melekat di antara kedua mata serangga besi. Lalu mobil itu meluncur diikuti tatapan mata kosong yang tereduksi densitas keakuannya.
Langkahmu lunglai. Tenagamu habis tersedot rasa tidak percaya. Terperas kebekuan pikir. Lalu kamu merebahkan diri di bawah pohon mangga rindang. Mata menatap langit biru. Mencoba menembus awan putih lembut merayap pada bidang udara. Hari yang cerah, sebetulnya. Tapi apa manfaat. Hati sedang dirundung kegalauan rasa yang menerkam dan mencabik-cabik dinding hati. Memang benar apa yang tertulis hikmah sastra dalam Ruang Hati. Yang jika senang ia akan berhiaskan bunga-bunga, berpayung pelangi, berlantaikan permadani, beraroma kasturi, dan berselimut hangat. Tapi jika sedih ia dipayungi awan gelap hitam, berasa masam, beralas duri, dan berdekap dingin. Begitulah kira-kira hati itu. Panorama indah yang memayungi kepala tidak berasa apa-apa. Tidak mampu menyuntikkan damai setitik saja.
“Aku tidak bisa.” Tiga kata itu masih terus terasa nyeri di telinga. Membayang-bayang terbang di setiap sel otakmu. Meloncat dan melekat di setiap folder memori kepala. Seperti virus. Yang jika kamu click maka virus itu akan menduplikasi diri dan menyebar menginfeksi setiap file. Tiga kata itu benar-benar laksana virus yang terus menggerogoti file semangat hidupmu. Hingga tanpa terasa badanmu lemah. Bahkan sekadar mengangkat lengan pun tak kuasa. Celakanya kamu terus mengingatnya. Bahkan detail kata-kata yang meluncur terbata-bata dari lisan terpantul-pantul tirai pemisah ruang tamu masih terekam jelas.
“Maaf, aku tidak bisa.”
“Maksudnya?”
“Aku tidak bisa memenuhi keinginanmu.”
Sebenarnya kamu sangat paham apa yang ia katakan. Tidak perlu kamu bertanya maksudnya apa. Bahkan sebelum kata-kata itu keluar dari lisannya kamu sudah memprediksi sebelumnya. Prediksi dengan sebuah hipotesis yang memiliki sebuah konsekuensi yang siap kamu tanggung apapun jawabannya. Itu sebab sedari dulu kamu tidak pernah berani mencoba menghiasi bibir dengan untaian kata cinta apalagi melisankannya.
Kamu tidak habis pikir. Kenapa lisan tak mampu sanggup menahan. Tidak teguh untuk menangguhkan sampai waktu yang tepat nanti. Atau menunggu rasa itu terbunuh sendiri. Sehingga hari-hari tetap berhiaskan senyum hati. Tersentuh sejuta harapan tersembunyi dalam diri. Fokus dengan apa yang hendak kamu dapatkan sebagai manusia normal. Tapi apa makna. Fakta hari ini lain. Lain sekali. Semua bermula saat kamu melihat ia sedang asyik bercanda dengan temanmu, pria. Pasti bagimu akan terasa biasa jika kamu tidak terpasung rasa. Pasti akan netral saja tanpa ada muatan apa-apa terhadapnya.
“Tidak layak kamu bersikap seperti itu sebagai anak puteri.” Kamu menegur ia keesokan harinya di ruang perpustakaan. Lalu ia berseloroh melantunkan argumen. Argumen yang sama sekali tidak masuk akal bagimu. Argumen yang sama sekali tidak mungkin tertulis dalam sebaris buku di perpustakaan manapun. Sehingga kamu tidak merasa layak kalau diungkapkan. Kamu bisa memahami atau setidaknya mencoba untuk memahami. Wajar ia berkata seperti itu karena merasa bahwa kamu tidak berhak untuk menegurnya. “Memang kamu siapa?! Apa hakmu menilai tentangku?! Kok berani-beraninya mengatakan kalau aku tidak layak bersikap seperti itu?!” mungkin itu sebenarnya yang ada di dalam pikirannya. Tapi tidak mungkin ia ucapkan. Sebab kamu tahu persis kepribadiannya. Sebab itu juga kamu tertawan harapan kelak akan bersama.
“Kamu merasa ada yang aneh,” sinis terasa letupan bibirnya setelah terlebih dulu duduk di kursi belakang meja perpustakaan yang lebar, yang sama sekali tidak tepat ditempatkkan di ruangan itu. Lalu kamu terdiam. Menunggu kata-kata apalagi yang akan keluar dari bibir tipis yang tidak pernah terpoles lipstick. Kamu hanya menatap mencuri-curi. Seanggun desai penampilan sederhana terus menyita fokus pikiranmu selang sesaat. Meski bukan kali pertama kamu mencuri tatap. Tetapi tetap sama rasa. Bahkan kali ini lebih dahsyat. Mengguncang asa sebab jiwa tak kuasa menahan perasaan yang membuncah, memandikan mimpi anak muda di penghujung masa lajangnya.
“Kamu cemburu ya?” Kamu terkejut terpaku dalam sekotak udara pengap berisi tekanan tinggi menukik kepala. Kamu merasakan udara di ruang perpustakaan bersatu padu merapatkan diri kemudian menghantam ragamu. Mematahkan sendi-sendi tubuhmu. Menurunkan detak jantung hingga laju alir darah setiap pembuluh lamban. Buku-buku di rak display sebelah kanan kiri meja tempat kamu terpojok tertuduh, menatap tajam. Musik instrumental yang semenit lalu terasa meneduhkan suasana, kini berirama dalam gejolak kebisuan nada, membenamkan harapan buah interferensi destruktif dan mengatupkan lisan tanpa memberi kesempatan sedikitpun terbuka. Kamu terdiam. Lebih tepatnya bisu. Tak tahu harus berucap apa. Sebab diammu juga jawaban yang sangat amat mudah dibaca dan dipahami tanpa sedikit penghayatan sekalipun. Lalu ia mendorong kursi ke belakang sembari berdiri dan pergi meninggalkanmu yang terpasung beku menyedihkan.
Sejak hari itu harimu tidak biasa. Ada sedikit kekhawatiran menusuk penggalan-penggalan waktumu. Aktivitas harianmu semakin tidak produktif. Prinsip-prinsip hidup penuh motivasi meleleh begitu saja. Prinsip hidup yang selalu kamu pegang. “Bedakan produktivitas dengan aktivitas.” Mulai hari itu sama saja. Tidak ada bedanya antara produktivitas dengan sekadar aktivitas. Semua berlalu begitu saja. Bahkan ada hari yang sama sekali tanpa aktivitas yang bermanfaat. Kamu tenggelam. Tenggelam dalam lautan malu oleh sebuah rahasia rasa yang sudah mulai terkuak.
“Tidak boleh terus seperti ini.” Katamu dalam hati. Seperti ada bisikan mengalun deras di telinga jiwamu di hari itu. Hari kelima dari peristiwa membingungkan di ruang perpustakaan. Bisikan itu mampu memberikan energi kepadamu untuk bangkit dari keterpurukan. “Ya, kamu tidak boleh terus-terusan seperti ini. Kamu tahu apa yang harus kamu lakukan.” Pencerahan menyapamu saat itu juga. Lalu tanpa pikir panjang kamu berjalan sambil bernyanyi langgam-langgam everlasting. Menatap bunga di tepian. Melupakan semua risau pertanyaan. Menghibur diri dengan menikmati setiap langkah kaki di jalan setapak bertabur debu.
“Tok tok tok!” kamu mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Nihil. Tidak ada jawaban. Kamu mengetuknya lagi. Masih tetap sama. Kamu berdiri melekatkan punggungmu di tembok warna putih pudar. Sembari menatap ke jalan depan rumah, tangan kananmu mengetuk pintu dan berucap salam.
“Waalaikumussalam...” terdengar lirih dibarengi suara pintu terbuka.
“Mari, silakan masuk.” Pintanya ramah. Sesaat lalu berbalik hilang menyelinap di balik tirai biru batas ruang tamu dan tengah.
Kamu masuk dipenuhi perasaan gugup. Lalu duduk tanpa terlebih dulu menunggu pinta menyilakan. Menatap langit-langit rumah. Menyisir setiap hiasan dinding. Foto, kaligrafi, juga lukisan. Ini kali ke tujuh kamu ke sini. Tapi kali pertama kamu meyaksikan lukisan apel merah besar, satu setengah kali dua meter persegi, yang menyita fokus perhatianmu. Kamu membelokan badanmu. Sebab lukisan itu melekat di dinding sebelah kirimu, kira-kira lima meter dari tempat kamu duduk. Matamu terus tertuju padanya. Mengecapi harmoni warna indah yang disuguhkan. "Sempurna," gumammu dalam hati. Bintik-bintik yang menempel di kulitnya benar-benar menyatu. Tumpukan putih di bagian puncak cembung daging buahnya melengkapkan kesan tiga dimensi. Rasanya ingin sekali kamu menjamah dan mengiggitnya. Kamu beranjak dari tempat duduk, mendekat, dan menyentuhnya. Merasakan goresan louvre pada kanvas. Ternyata kamu belum puas. Kamu merasa gila tapi tidak mampu menahan keinginanmu untuk mencium dan menempelkan pipi kananmu di apel itu. Tidak ada yang istimewa. Memang kamu gila. Tapi saat kamu menempelkan pipimu kamu jadi tahu bahwa di belakang tempat kamu duduk juga ada lukisan apel. Apel yang terbelah. Kamu bertanya dalam hati: ”Kenapa hanya sebelah?”
“Dari mana saja?” kamu terkejut hingga lewat begitu saja tanya pembuka tanpa ada jawab dari lisanmu. Ia membuka tirai, berjalan membawa dua gelas air teh yang masih menguap, lalu duduk di kursi menghadap lukisan apel yang tadi kamu cium. Begitulah yang selalu ia lakukan setiap kali kamu datang. Membuatkan minuman dan duduk tidak tepat di depanmu. Selalu dan selalu di sebelah kanan depanmu. Sehingga jika kamu dan dia menatap ke depan maka tatapan matamu dan matanya berpotongan tegak lurus di atas meja. Ia tidak pernah mau menatap lawan bicaranya jika itu kamu. Kamu tidak tahu kenapa tapi justru itu kamu menjadi semakin terpaut hati dengannya.
Kamu diam. Ia pun diam merunduk. Dadamu sesak. Rasamu gelisah. Tidak terucap satu kata pun. Berulangkali kamu hanya menarik nafas dalam dan mengempaskan perlahan.
“Besok ulangan ya?” tanya pembuka kebekuan muncul darinya.
“Ya, semi open book ya? Sudah buat resumnya?”
“Belum, paling nanti malam.” Ia tersenyum.
“Kamu juga belum? Penginnya sih ke sini sekalian pinjem resumnya.”
“Insya Allah besok aku copy-kan.”
“Wauw...terima kasih.”
“Halaah...Biasanya juga begitu kan? Oya, silakan tehnya diminum! Ntar keburu dingin.” Ia tersenyum.
“Tuan rumah duluan dong!”